Â
[caption caption="Kepala BIN Sutiyoso I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]
Presiden Jokowi mewaspadai manuver Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sinyal dukungan partai agama PKS itu bisa merusak partai pendukung koalisi Jokowi sejak Pilpres 2014. Presiden Jokowi pun tidak akan gegabah menerima partai agama PKS – dan juga PAN yang sementara digantung. Sinyal dukungan partai agama PKS hanya dianggap oleh Presiden Jokowi sebagai hal normatif sebagai partai politik. Mari kita tengok sikap politik Presiden Jokowi terkait konsolidasi politik yang menggambarkan peta politik kekinian dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita senang sentosa riang pesta-pora suka-suka menari menyanyi berdansa chacha selamanya senantiasa.Â
Peta politik di Indonesia tidak banyak berubah. Yang terjadi adalah perimbangan kekuatan di parlemen. Masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai pendukung pemerintah dibuktikan dengan sikap PAN yang konsisten mendukung penghukuman etik atas Setya Novanto. Sikap politik PAN pun tidak goyah. Hal itu disebabkan oleh posisi kuat Soetrisno Bachir dan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hazan – meskipun Amien Rais yang belum mendapatkan posisi komisaris atau duta besar.
Di luar parlemen, Istana tetap menjadi episentrum perang kepentingan, dengan Presiden Jokowi sebagai wasit: sepanjang tidak melanggar hukum silakan saja. Faksi-faksi yang disebut sebagai faksi Luhut Pandjaitan, faksi Jusuf Kalla, dan faksi Jokowi telah kehilangan relevansi. Kini yang ada adalah kendali sepenuhnya ada di tangan Presiden Jokowi.
(Memang awalnya sebelum Jenderal Luhut Pandjaitan masuk dan menjadi Menkopolhukam, kekuatan di Istana terpecah menjadi faksi Andi Widjajanto, faksi Jusuf Kalla, dan faksi Profesional – dengan Presiden Jokowi menjadi pusat kekuasaan yang mengamati sepak-terjang berbagai faksi tersebut. Masuknya Jenderal Luhut dan Pramono Anung mengakhiri kiprah seluruh faksi di Istana. Pun Teten Masduki pun sangat membantu menyeimbangkan alur informasi kekuasaan di Istana dengan jangkar Pramono Anung, Teten Masduki, dan Jusuf Kalla.)
Di dalam internal koalisi Presiden Jokowi, tugas berat menanti HM Prasetyo dari NasDem. Tugas menyelesaikan kasus Papa Minta Saham menjadi beban terberat HM Prasetyo. Kekuatan masif Setya Novanto dan mafia migas dan Petral Riza Chalid menjadi pertimbangan kuat untuk melumpuhkan diri dalam mengusut kasus itu. Pertimbangan kekuatan dan kepentingan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla yang namanya dicatut terpinggirkan.
Untuk itu, demi menjaga martabat kekuatan negara atas mafia dan koruptor, Presiden Jokowi tampaknya tengah memertimbangkan pergantian Jaksa Agung. Namun, itu pilihan terakhir. HM Prasetyo sebenarnya mampu membuktikan integritasnya sebagai negarawan jika mampu tercatat memenjarakan mereka yang terlibat kasus Papa Minta Saham. Analisis terbaru menyebutkan HM Prasetyo yang pernah menjadi jaksa karir memiliki kaitan dengan masa lalu.
(Dulu semua kekuatan hukum, politik, sosial, ekonomi di Indonesia tak akan lepas dari kekuatan mafia yang menguasai seluruh institusi. Kasus lepasnya Akbar Tandjung dari jeratan hukum dulu menjadi gambaran. Pun lepasnya Setya Novanto di PT Era Giat Prima kasus cessie Bank Bali sementara Djoko S Tjandra pun jadi terpidana buronan yang sekarang tinggal di Singapura, sama dengan Riza Chalid juga ngendon di sana.)
Selain itu, Presiden Jokowi tidak begitu peduli dengan berisiknya PDIP dengan Masinton Pandjaitan menjadi amunisi keributan dan kekisruhan yang tidak perlu. Serangan PDIP terhadap Wapres Jusuf Kalla akan dibahas dalam tulisan lain. Intinya, serangan PDIP dengan Masinton Pandjaitan dan sedikit Rieke Dyah Pitaloka menjadi bahan tertawaan partai lain. PDIP tidak menghargai dan tidak memahami betapa the Operators mampu menyelamatkan muka Presiden Jokowi – sementara PDIP hanya karena mengincar Jusuf Kalla – yang dulunya sebelum masuknya Jenderal Luhut Pandjaitan adalah kongsi PDIP terdekat selain Surya Paloh.
Kini, peta politik menjadi cair pasca Setya Novanto bergeser posisi. Kejaksaan Agung mengalami kegamangan menghadapi kekuatan Setya Novanto dan mafia Petral dan migas Muhammad Riza Chalid atau Reza Chalid. Namun, satu hal yang penting adalah dengan kekuatan misi menjaga Presiden Jokowi the Operators tetap melakukan tekanan dan politik zig-zag yang tak gampang dipahami.