[caption caption="Kepala BIN Sutiyoso I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]
Desember 2015 – Januari 2016 awal, gempita Pansus Pelindo II menyentak publik. Publik menduga-duga terjadi keretakan Presiden Jokowi-Ibu Megawati. Pasalnya Rieke Dyah Pitaloka kebablasan menerjemahkan perintah ring 1 PDIP terkait pembenahan BUMN. Refly Harun dan dua pakar hukum dipanggil. Hasilnya Presiden Jokowi mengabaikan ancaman kebablasan Rieke Dyah Pitaloka dan Masinton Pasaribu terkait usulan memecat Menteri BUMN Rini Soemarno.
Mari kita tengok peta politik kekinian terkait Pansus Pelindo II, Damayanti Wisnu Putranti ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pasca teror ISIS di Jakarta dan kisruh Golkar dalam kendali the Operators serta dampaknya secara politis untuk Presiden Jokowi dengan hati gembira ria riang ria girang senang sentosa bahagia pesta-pora menari menyanyi berdansa suka-suka bahagia selamanya senantiasa.
Pertama, senyapnya Setya Novanto, kaburnya Riza Chalid, dan senyapnya Masinton Pasaribu dan Rieke Dyah Pitaloka. Akhir Desember 2015, begitu gempita, dengan anti klimaks Setya Novanto mundur dari Ketua DPR dan Muhammad Riza Chalid kabur ngacir ke Singapura. Januari 2016 ditandai dengan senyapnya Masinton Pasaribu dan Rieke Dyah Pitaloka yang ditegur oleh Ibu Megawati karena salah menerjemahkan pesan. Ancaman pemakzulan oleh Rieke Dyah Pitaloka – hanya karena Rieke menjadi Ketua Pansus Pelindo II – menjadi bumerang. Pun dalam kapasitas berbeda Masinton Pasaribu akan mengikuti jejak Effendi Simbolon yakni: senyap setelah ditekuk oleh Ibu Megawati – tentu lewat orang-orang kepercayaannya.
Kedua, Golkar nyatakan dukung pemerintah dan koalisi Prabowo rontok. UU MD 3 tetap kokoh – namun kekuatannya bergeser ke kubu Presiden Jokowi. Bangunan paguyuban koalisi Prabowo tetap kokoh – namun hanya menyisakan namanya saja. Koalisi Prabowo pun praktis tinggal Gerindra dan partai agama PKS. Namun yang tidak mereka miliki adalah: genggaman aturan dan kekuasaan uang ada di tangan pemerintah.
Ketiga, percobaan korupsi oleh mafia dan koruptor di PDIP dengan wakilnya Damayanti Wisnu Putranti digagalkan. Karena DWP adalah wakil politisi koruptor, maka dia bungkam dan tidak bersedia menjadi justice collaborator. Untuk sementara banget Yudi Widiana dan Budi Suprianto masih bisa bernapas. Namun, ketika dokumen dan alur informasi serta komunikasi dibuka, termasuk jaringan pengodeannya dibuka – seperti halnya Apel Washington Angelina Sondakh – maka dapat dipastikan akan terseret. Hal itu sepenuhnya tergantung KPK berani tidak melakukan terobosan dengan cara memberi tekanan tak terkira kepada Damayanti Wisnu Putranti terkait beban diri, keluarga dan lingkungan sehingga mau membuka mulutnya.
Keempat, Golkar porak-poranda dan akhirnya mendukung Presiden Jokowi. Sejak awal telah disebutkan oleh Ki Sabdopanditoratu, bahwa pada akhirnya Golkar akan porak-poranda jika tak mendukung Presiden Jokowi. Penyebab internal adalah Golkar gatel kalau tidak berada di pemerintahan. Sebab eksternalnya, Presiden Jokowi harus dipeluk oleh Golkar dengan Ketua Umum selain Ical – yang dengan semangat 45 the Operators menjalankan improvisasi tanpa arahan penuh the Supreme Operator. Hasilnya, apapun tetap Aburizal Bakrie tersingkir meskipun pendanaan tak terbatas untuk Rapimnas, Munas digelontorkan, sebagai akibat satau keinginan: asal bukan ARB. Titik.
Kelima, di tengah Damayanti Wisnu Putranti ditangkap oleh KPK, kejadian luar biasa terjadi. ISIS melancarkan teror bom di Thamrin. Presiden Jokowi bertindak tegas dan membenahi UU anti Terorisme dengan mengajukan revisi ke DPR. Pun pengejaran dan penanganan terhadap bahaya laten radikalisme berbasis dan mengatasnamakan agama dalam bentuk terorisme digalakkan.
Jaringan teroris dan alur pendanaan diungkap dan ditelanjangi di seluruh kantong teroris. Penanganan terorisme akan menerapkan preemptive measures yang memungkinkan badan intelejen dan Densus 88 melakukan penahanan dan penangkapan terhadap terduga dan tercium radikal dan cenderung teror.
Jika diamati secara seksama, seluruh rangkaian lima hal di atas menimbulkan dampak yang sangat jelas. Presiden Jokowi sepenuhnya menguasai konsolidasi politik. Dalam politik hanya ada dua jalan untuk memenangkan perang politik: (1) meminta bergabung dengan baik-baik, atau (2) menghancurkan lawan politik dengan kekuatan yang ada baik internal lawan politik maupun eksternal.
Presiden Jokowi memainkan dua jurus itu dengan sempurna dan sama sekali Presiden Jokowi tidak berbicara dan tidak memerintahkan untuk melakukan konsolidasi politik secara terbuka. Diskusi tingkat tinggi empat mata menjadi alat efektif bergeraknya para the Operators melakukan langkah-langkah dan strategi dalam setiap pertempuran, dengan tujuan memenangi perang secara keseluruhan.