Halilintar menyambar begitu Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibuka di Kota Oxford. OPM berhasil meyakinkan publik internasional terkait kondisi sejarah, HAM - jualan bangsa Barat untuk merampas kekayaan alam bangsa-bangsa - dan tentu saja peluang kekayaan alam di Papua. Inggris adalah biang kerok kerusakan kebangsaan di India - ketika merampas kekuasaan Muslim selama 700 tahun di India - dan berbagai negara di Afrika, Asia dan Pasifik. Papua menjadi target berikutnya dengan politik adu domba di kawasan. Indonesia di bawah Bung Karno pernah terpancing untuk konfrontasi yang berakhir dengan kekalahan Bung Karno akibat konspirasi Amerika Serikat.
Inggris -selain Prancis dan Belanda - sebagai negara demokrasi memang memfasilitasi kelompok sektarian apapun. Kantor gerakan Islam Ahmadiyah juga di London. Gerakan politik anti pemerintah Pakistan di bawah Rezim Pervez Mussaraf dan Zia Ulhaq juga dibiarkan tumbuh di sana. Gerakan oposisi Myanmar di bawah Aung San Su Kyi juga berpusat di London dengan suaminya mendiang Aris - warga negara Inggris. Bahkan World Islamic Consul pun berpusat di London Inggris. Bahkan keluarga Malala pun sekarang karena di bawah ancaman Taliban Pakistan mengungsi dan dilindungi di Inggris. Bahkan Pangeran dan bangsawan Arab Saudi pun dilindungi di Inggris kerana melawan tradisi kuno Wahabi di Arab Saudi.
Melihat sejarah Inggris yang membela kepentingan minoritas yang mengaku tertindas dan bangsa yang terjajah, maka OPM sebagai organisasi pejuang pun meretas asa memanfaatkan isu HAM dan ketertindasan sebagai jualan politiknya. Hingga pemerintah Inggris memenuhi permintaan dan kampanye anti Indonesia di Papua dan tentang Papua akan menggaung lebih kencang setelah kegagalan lobby melalui Amerika dan Melanesia serta Australia. Gaung dering kampanye dari Inggris, Belanda dan Prancis jelas akan lebih kuat dan menggema dibandingkan dengan teriakan di hutan papua.
Melihat perkembangan ini, Pemerintah Indonesia harus dengan tegas mengambil sikap, Indonesia harus mewaspadai OPM dengan Inggris dijadikan pijakan OPM untuk bergerak. Indonesia harus menekan Inggris yang mendapatkan keuntungan ekonomi lewat British Petroleum (BP) mengelola gas Tangguh di Papua Barat. Sikap mendua Inggris harus disikapi oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan lobby dan counter informasi.
Departemen Luar Negeri melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa harus piawi melakukan pendekatan dan counter informasi yang komprehensif terhadap setiap gerakan OPM di Oxford dan Inggris. Pembungkaman model Sein Beit dan pemerintah Turki atas aktivis PKK di Prancis juga bisa dijadikan rujukan. Kini saatnya agen BIN bergerak bukan hanya membungkam tokoh di dalam negeri, namun perlu membungkam tokoh di luar negeri termasuk para pejabat di balik OPM di Oxford.
Setiap kesalahan dan keterlambatan Indonesia melalui Menlu dan Kemenlu akan berakibat fatal dan bahkan bukan tidak mungkin kasus lepasnya Timor Leste - dalam konteks yang berbeda dengan Papua - akan terulang. Belum lagi Australia adalah anak kandung penurut Inggris Raya yang akan manggut-manggut jika kebijakan Inggris atas Papua berubah.
Maka pendirian kantor OPM di Oxford jangan dianggap sebelah mata dan harus disikapi sebagai ancaman eksistensi NKRI oleh Pemerintah Indonesia, cq. Kemenlu RI di bawah diplomat keren nan cerdas Marty Natalegawa. Tumpas OPM sampai akar-akarnya. Papua lepas dari Indonesia diyakini awal kehancuran Indonesia dan Malaysia sekaligus.
Salam bahagia ala saya menjaga NKRI dengan jiwa raga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H