[caption caption="Gatot Pujo I Sumber aktualonline.com"][/caption]
OC Kaligis, Gatot Pujo, dan Evi ditetapkan sebabai tersangka korupsi oleh KPK. DPR senyap. Kenapa? Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia peradilan dan hukum di Indonesia bobrok. Omongan Hatta Rajasa yang menyebut hukum tajam ke bawah tumpul ke atas menjadi contoh: anaknya dihukum percobaan dalam kasus kecelakaan yang menimpa anaknya. Bahkan, dunia peradilan di Indonesia dengan Kejaksaan Agung dan jajaran di bawahnya menjadi sarang penyamun: hukum diperjual-belikan dengan imbalan uang. Mari kita tengok peta politik yang telah berubah itu dan strategi Presiden Jokowi dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita pesta-pora selamanya senantiasa.
Jaksa Urip Tri Gunawan menjadi contoh. Selain itu, kini para hakim PTUN Medan yang menerima suap dari Gatot untuk memenangkan perkara. Apa implikasi politik terhadap DPR, peta politik anti Presiden Jokowi terkait dengan penetapan Gatot menjadi tersangka korupsi?
Di tengah upaya pelemahan KPK oleh DPR dan Polri, Presiden Jokowi masih memiliki keyakinan kekuatan KPK yang masih dibutuhkan. Setelah melakukan konsolidasi politik dengan menyatukan kekuatan TNI dan BIN serta menjinakkan Polri, Kejaksaan Agung dan KPK pun kini mendapatkan dukungan penuh Presiden Jokowi. Polri yang malang-melintang dengan Bareskrim-nya pun kini mendapatkan ‘keseimbangan’.
Presiden Jokowi menempatkan Polri pada tempatnya dan dalam kendali Presiden Jokowi. Penolakan TNI dan Kopassus melatih Brimob untuk urusan penanganan terorisme dan kerusuhan pun tidak dipenuhi oleh TNI. Presiden Jokowi tidak akan mengaduk-aduk peran TNI dan Polri menjadi rancu. Buwas oleh Presiden Jokowi ditempatkan sebagai unsur penyeimbang dan bukan kartu as dominan – setelah penguasaan BIN sepenuhnya di tangan Presiden Jokowi – dengan Bang Yos yang mantan birokrat dan purnawirawan Jenderal TNI. Buwas pun menjadi bagian dari kekuatan Presiden Jokowi.
Langkah Presiden Jokowi menguasai TNI dan BIN dan memerintahkan Kejaksaan Agung dan KPK untuk tetap bekerja sesuai kepentingan dan tugasnya sungguh sangat menarik. Langkah pertama yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan KPK adalah menelisik sebanyak mungkin lawan politik yang terlibat korupsi di DPR dan pejabat publik seperti gubernur, bupati, walikota, dirjen, anggota lainnya.
Implikasi penahanan Gatot Pujo dan Evi istri ke berapanya sebagai tersangka korupsi membuat peta politik berubah. Perubahan itu terjadi karena penekanan pendekatan politik-hukum Presiden Jokowi dalam memerbaiki sistem penegakan hukum dan politik yang korup. DPR pun senyap. Apalagi si pengusul pembubaran KPK, Fahri Hamzah? Diam. Senyap. Menyusun strategi lagi.
Sinyalemen tentang penolakan dan gangguan terhadap Presiden Jokowi terkait dengan ancaman para koruptor yang akan menggoyang pemerintahan Presiden Jokowi hanya terbukti pada 6 bulan setelah pelantikannya. Selebihnya senyap. Setelah OC Kaligis, Gatot Pujo - pentolan PKS itu - dan Evi pentolan Gubernur Sumut ditetapkan sebagai calon koruptor. Yang dilakukan oleh KPK sudah tepat.
Setelah menangkap dan menahan OC Kaligis – pengacara paling hebat di Indonesia dan pegiat pembela para koruptor – pentolan perintah korupsi dana hibah dan sosial APBD Sumut pun dijadikan tersangka. Maka motif penyuapan menjadi jelas dan OC Kaligis tak bisa mengelak. Namun demikian, karena motif penyuapan sudah jelas, nasib OC Kaligis pun menjadi jelas. Dan, upaya menjadi bemper dan mengaburkan kasus suap pun gagal total. OC Kaligis pun akan memilih untuk kompromi dengan KPK dan penghukuman berat ditimpakan kepada Gatot Pujo dan Evi.
Melihat korupsi dana hibah dan bantuan sosial yang disalurkan dengan penuh penipuan dan KKN – maka kasus Gatot ini akan menjadi salah satu peringatan - dipastikan Gatot dan Evi akan dipenjara untuk waktu yang lama. Langkah hukum gaya-gayaan lagi model Praperadilan baik untuk OC maupun Gatot yang dilakukan hanya akan menjadi hiasan semata. Perhitungan hakim yang adu kuat dengan kalangan intelejen membuat mereka berpikir panjang untuk berlaku membela koruptor.
Pantauan BIN yang bisa menyisir ke mana pun - termasuk ke para anggota DPR - membuat para pejabat koruptor sedikit kecut: namun tetap ogah-ogahan bekerja di bawah pengawasan pemerintahan Presiden Jokowi.