Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Munir, HAM, UU 27/14 dan Makna Penting Sebuah Nyawa dalam HAM

18 Desember 2014   04:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:05 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Munir tewas di pesawat Garuda - dengan gejala akibat sakit perut. Pollycarpus dipenjara. Muchdi PR dibebaskan dari dakwaan. Om Hendropriyono tak ditanyai oleh pengadilan dan bahkan Komisi HAM Indonesia. Namun, tak disangka, kasus Munir berkembang menjadi kasus yang liar tak tentu arah. Kasus Munir menjadi kasus yang menjauh dan bukan merupakan kasus yang masuk dalam materi pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No 27 2004 tentang Komisi Rekonsiliasi Nasional. Apa makna kematian Munir dan gagalnya rekonsiliasi nasional yang kehilangan momentum? Mari kita tengok akar permasalahan gagalnya rekonsiliasai nasional yang sejak tahun 2004 sudah digaungkan dengan hati riang gembira bahagia sejahtera sentosa ria.

HAM alias hak azasi manusia terkait dengan hak hidup dengan segala rangkaiannya. UU tentang Komisi HAM di Indonesia mengatur tentang berbagai macam hak dasar tersebut. Hak untuk hidup dengan menyandang nyawa di badan adalah hak paling azasi: hak dasar. Hak itu melekat seperti hak untuk memeroleh kehidupan, hak untuk memercayai tuhan dan pencipta. Dalam kenyataannya hak-hak itu berbenturan dengan kepentingan yang disebut kepentingan ekonomi.

HAM mulai dari zaman prasejarah telah ada. Pada zaman perburuan, zaman batu, kepentingan manusia adalah menguasai daerah air, luasan tempat berburu, gua tempat tinggal, dan dominasi kepala suku di suatu lingkungan terkait proses produksi. Setiap suku memiliki anggota suku. Mereka secara naluriah memiliki hak untuk makan; hak untuk hidup; dan hak untuk bereproduksi. Keyakinan kepada alam dan tuhan juga merupakan hak yang secara homogen di suatu lingkungan dimiliki. Tak ada friksi besar di dalamnya selain demokrasi ala keturunan: anak kepala suku menjadi kepala suku, anak tetua keyakinan akan menjadi tetua keyakinan.

Namun, ketika kehidupan menjadi tidak homogen secara suku, keyakinan, dan terjadi persentuhan perbedaan suku, agama, bahasa, bangsa, ketika itulah pergesekan menimbulkan konflik. Konflik yang terjadi lalu dibukukan menjadi tradisi untuk mengatasi persoalan yang disebut hukum: hukum adat dan dalam alam modern disebut hukum negara yang terbagi menjadi dua: hukum pidana dan hukum perdata.

Menyelip di antara hukum itu ada hukum yang absolut disebut hukum agama yang menjadi sumber konflik bagi yang memercayai bahwa hukum agama mengatasi hukum negara. Di situlah muncul organisasi radikal berdasarkan agama seperti Hizbut Tahrir dan FPI serta FKUM.

Negara (baca: penguasa) yang diharapkan menjadi wasit bagi seluruh konflik dan anggota alias warga negara, kadang gagal melindungi HAM disebabkan oleh (1) lemahnya negara dan pemimpin negara, (2) kekuatan ekstra di luar negara bermain (baca: kelompok radikal seperti FPI), (3) kepentingan ekonomi alias dominasi alamiah untuk mencari makan terganggu secara kelompok (baca: kroni dan partai).

Di tengah konflik pergesekan antar anggota masyarakat yang heterogen itu ada para penjaga negara (baca: penjaga pemimpin alias kepala suku dalam konteks peradaban batu) yang disebut aparat keamanan dari berbagai tingkatan. Penjaga negara ini memiliki wewenang dan kepanjangan tangan para pemimpin yang disebut negara. Selain itu alat keadilan dan ketertiban dibuat agar kemaslahatan masyarakat dan kepentingan masyarakat diutamakan.

Maka terjadilah berbagai kasus - karena mencari makan dan mengusai kepentingan ekonomi - ketika ada pencuri, pembunuh, perampok, pemberontak, pengkhianat terhadap kekuasaan negara (baca: pemimpin yang tengah berkuasa), maka bertindaklah aparat keamanan untuk menjalankan ketertiban. Ancaman keselamatan negara (baca: penguasa) bisa datang dari dalam atau luar. Dari dalam adalah pesaing partai politik dan pengusaha yang kalah.

Contohnya, Ical dan Prabowo yang kalah dalam pilpres merasa harus melawan kekalahan dengan membentuk koalisi Prabowo dengan tujuan akhir melakukan pemakzulan atau perebutan kekuasaan yang wajar menurut hukum barbar dan zaman batu dan zaman Pajang-Mataram. Pembunuhan untuk merebut kekuasaan menjadi hal yang wajar.

Maka mejadi wajar pula ketika pembunuhan dan perebutan kekuasaan gagal, pihak pemenang atau yang gagal dimakzulkan memberikan hukuman sebagai balas dendam: itu yang disebut pemberontakan dan perbuatan makar. Dalam konteks kecil, makar kecil-kecilan (baca: di hadapan dan perspektif penguasa yang tak mau diganggu, maka lahirlah dulu UU Anti Subversi pada zaman eyang saya Presiden Soeharto) dilakukan oleh LSM.

LSM alias lembaga swadaya masyarakat melakukan pembelaan terhadap kelompok masyarakat atau partai politik yang di luar kekuasaan. Maka setiap LSM selalu mengaduk-aduk kesalahan penguasa. LSM selalu berlindung dengan kekuatan anti kekuasaan (baca: penguasa).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun