Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Muktamar NU, dari Sarung Jokowi sampai Selamatkan MUI: BPJS Tidak Haram

2 Agustus 2015   08:59 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:16 4360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Presiden Jokowi I Sumber Sindonews.com"][/caption]

Selain kain sarung yang dikenakan Presiden Jokowi, yang menarik dari Muktamar NU ke-33 di Jombang adalah NU akan menyelamatkan MUI. Fatwa MUI yang menyebutkan BPJS haram dipastikan tak akan dipatuhi oleh para kiai dan ulama NU. MUI pun ngeper lewat petnyataan Din Samsudin. Dapat dipastikan, Muktamirin NU akan mengambil sikap garis tengah untuk menenangkan baik pemerintah maupun masyarakat yang terkena fatwa MUI soal BPJS Kesehatan. Mari kita tengok salah satu keputusan Muktamar NU ke-33 yang akan mengambil keputusan penting yakni terkait dengan berbagai isu penting termasuk BPJS dengan hati gembira ria senang sentosa suka-cita pesta pora bahagia riang senantiasa selamanya.

Ketua Umum PB NU Said Aqil Sjiradj menyatakan mendukung pemerintah, dalam pembukaan Muktamar NU di Jombang. Kelahiran gerakan Islam Nusantara atau Islam yang membumi, Islam yang moderat, tak lepas dari sikap pluralis NU selama ini. Said Aqil Sjiradj dikenal memiliki akar ke-NU-an yang kental dan memiliki kemiripan dengan Gus Dur. Fatwa MUI selama ini hanya menjadi hiasan semata. Tak ada sebenarnya urgensinya menaati dan mengimani MUI. MUI bukan lembaga yang memiliki otoritas mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Islam telah mengatur tata cara dan hukum.

Muktamar NU menyatakan akan mengambil sikap bahwa BPJS bukanlah produk haram. Untuk itu sudah selayaknya MUI mencabut fatwanya yang sembarangan itu. Salah satu keputusan yang ditunggu adalah Muktamar NU akan memutuskan BPJS kesehatan tidak haram. Sikap NU ini ditujukan untuk menghantam MUI – yang oleh sebagian warga dan para kiai NU dianggap organisasi Islam yang tidak memiliki dasar hukum menentukan halal-haram. Gus Mus bahkan tidak pernah menganggap para kiai atau yang mengaku ulama MUI. Said Aqil Siradj menganggap MUI tukang mengumbar fatwa yang tak penting. Akibatnya MUI semakin menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Ada beberapa alasan dari kalangan NU untuk menghentikan langkah kebablasan MUI ini.

Pertama, para ulama NU tidak memiliki akar sebagai ulama seperti tradisi keulamaan kiai NU yang teruji. Keulamaan para orang MUI hanya karena terpilih menjadi anggota MUI.

Kedua, keulamaan MUI terkait dengan sumbangan dan biaya kedudukan atas dukungan pemerintah. Pada zaman kekuasaan eyang saya Presiden Soeharto, MUI tidak berani mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dikeluarkan hanya yang tidak terkait dengan masalah politik. Maka kedudukan ulama MUI adalah dianggap ulama plat merah. MUI pun menjelma menjadi lembaga yang mendukung pemerintah.

Nah, pada masa reformasi, MUI yang diisi oleh para orang yang menganggap diri ulama, bermain di tataran politik. MUI DKI mengeluarkan fatwa memilih Jokowi-Ahok haram. Tenyata masyarakat hanya menertawakan fatwa MUI: Jokowi-Ahok menjadi pemenang. Pada pilpres pun MUI bermain dan tampak mendukung Prabowo-Hatta, kalah. Kekalahan ini membuat MUI mengeluarkan berbagai maneuver misalnya: mengeluarkan fatwa yakni: berdosa tidak menepati janji kampanye. Upaya politis dengan mengeluarkan fatwa: berdosa bagi pemimpin yang tidak menetapi janji kampanye tak perlu dikeluarkan.

Hukum dasar Islam tidak menepati janji apapun juga jelas haram dan berdosa. Tidak menepati janji adalah gambaran kemunafikan. Salah satu tanda orang munafik. Padahal politik adalah pencitraan dan kesan. Politik adalah kebohongan dan kemunafikan dan kecurangan dan kemalingan. Tanpa mengeluarkan fatwa pun semua orang Islam di seluruh dunia tahu tidak menetapi janji berdosa. Tak salah Said Aqil Siradj menyatakan MUI obral fatwa.

Nah, MUI tak perlu mengobral ancaman tentang janji kampanye. Saat ini MUI kekurangan kerjaan dan garis ‘korupsi’ dan labelisasi kurang mendapat job. (Publik dan pengusaha tahu betapa labelisasi halal menjadi bisnis MUI yang ruwet dan diruwetkan dan UUD – ujung-ujungnya duit. Standardisasi label halal MUI mungkin lagi sepi order jadi MUI meributkan BPJS, dan fatwa ingkar janji kampanye. He he he.)

Ketiga, MUI memanfaatkan dan menunjukkan kedangkalan ilmu mereka tentang Syariah. Dipastikan para ulama saat ini yang tergabung dengan kelompok MUI – yang tidak memiliki pondok pesantren dan tidak memiliki akar keulamaan seperti para Kiai Langitan – tidak memiliki akar keilmuan agama dibandingkan dengan para kiai NU. Pemahaman Syariah MUI didasari oleh sentimen dan emosi akibat ‘dosa Jokowi berpasangan dengan Ahok’

Dendam sentiment MUI ini diarahkan ke sasaran yakni: program unggulan BPJS yang sangat bermanfaat bagi rakyat. (Perhitungan politik MUI adalah dengan menghantam BPJS akan melumpuhkan program kesehatan Presiden Jokowi-JK. Tak disangka MUI, fatwa MUI ini mendapatkan tentangan berbagai kalangan yang membuat MUI ngeper juga.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun