Jika koalisi Prabowo berani, inilah momentum paling tepat 100 hari memakzulkan Presiden Jokowi karena sebagai pemimpin lemah. (Effendi Simbolon juga menyuarakan ide pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.) Kisruh Polri melawan KPK - karena ketidaktegasan sikap Jokowi - menjadi saat paling krusial antara Jokowi bertahan sebagai presiden atau turun dari kekuasaan. Kisruh itu dipicu oleh rongrongan PDIP, NasDem, dan para koruptor berkepentingan. DPR yang sudah mengincar untuk menjungkalkan Presiden Jokowi memanfaatkan blunder Jokowi yang mencalonkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Polri pun yang terkenal sebagai organisasi terkorup sebelum DPR/D merasa di atas angin karena dukungan DPR. Maka KPK lawan Polri menjadi bola liar yang menekan presiden. Mari kita tunjukkan rancangan pemakzulan terhadap Jokowi yang bisa dilakukan secara sistematis itu dengan pintu masuk kisruh Polri lawan KPK dengan hati gembira bahagia senang ria sentosa.
Saat inilah Presiden Jokowi bisa ditaklukkan oleh koalisi Prabowo. Posisi politik dan dukungan rakyat dan media berada pada titik terlemah. Sementara itu soliditas Polri dan DPR serta para parpol untuk menjungkalkan Presiden Jokowi barada pada titik tertinggi. Bagaimana gambaran rencana pemakzulan itu tengah dirancang lebih matang oleh DPR dan kenapa belum juga DPR bertindak meskipun nafsu menjungkalkan Presiden Jokowi sudah di ubun-ubun?
Dalam politik, niat baik bukanlah hal yang selalu baik. Dalam politik, kepentingan adalah panglima. Dua hal itu yang Presiden Jokowi harus perhatikan. Politik santun dan peragu ala SBY sudah tidak layak dipakai seperti yang disampaikan oleh Prabowo. Politik gaya Jawa pun tak layak dipakai oleh Jokowi karena posisi Jokowi lemah secara politik karena dukungan lemah baik para partai pendukung dan partai penentang. Sesungguhnya penyebabnya adalah adanya pusaran dendam politik, itikad buruk para parpol yang semuanya bermuara pada masalah korupsi.
Maka untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi harus dilihat kelemahan (dan kekuatan) Presiden Jokowi yang sesungguhnya.
Pertama,dukungan rakyat terhadap Jokowi lemah dan merosot. Maka, momentum itu akan semakin menguat dan muncul dengan cara merusak dukungan terhadap Jokowi. Rongrongan itu telah dilakukan oleh para anggota DPR seperti Aziz Syamsuddin, Fadli Zon, PKS, melakukan komentar-komentar pedas terkait kinerja Jokowi. Nurul Arifin dan Tantowi Yahya pun ikut merusak dan memojokkan Presiden Jokowi yang dianggap salah dan tidak bekerja. Juga Benny K Harman dari Demokrat juga berperan merusak konsentrasi Presiden Jokowi dengan aneka pernyataan - walau kadang asal pernyataan.
Tedjo yang di bawah tekanan teman-temannya sesama TNI atau purnawirawan TNI pun ikut mengecam KPK - sekaligus terhadap Jokowi. Tak urung politikus PDIP seperti Hasto Kristanto dan Effendi Simbolon pun ikut memojokkan Presiden Jokowi dengan lagi-lagi menyerang KPK dan kinerja dan penunjukan menteri-menteri Jokowi. Suryo Paloh dan para politisi NasDem dan Hanura pun bersama-sama menunjukkan ketidakpuasan terhadap Jokowi. Kenapa?
Karena para koruptor semua bermain, bahu-membahu dan memanfaatkan momentum untuk melawan KPK - dan penjatuhan Jokowi. Cara terbaik dan tertepat adalah sekaligus melakukan gerakan untuk menekan Presiden Jokowi dengan aneka pernyataan negatif tentang Jokowi dan menteri-menterinya.
Di mata publik, dalam politik, niat baik bukanlah hal yang selalu baik. Dalam politik, kepentingan adalah panglima. Dua hal itu yang Presiden Jokowi harus perhatikan. Politik santun dan peragu ala SBY sudah tidak layak dipakai seperti yang disampaikan oleh Prabowo. Politik gaya Jawa pun tak layak dipakai oleh Jokowi karena posisi Jokowi lemah secara politik karena dukungan lemah baik para partai pendukung dan partai penentang.
Publik paham segala sepak terjang DPR/Polri, sesungguhnya penyebabnya adalah adanya pusaran dendam politik, itikad buruk para parpol yang semuanya bermuara pada masalah korupsi. Karenanya, hal paling mudah untuk melawan opini publik adalah dengan mengriminalisasikan semua pimpinan KPK. Setelah Bambang Widjojanto, Pandu, maka Samad pun diserang yang tujuannya untuk membentuk opini bahwa mereka kotor, tak pantas menjadi pimpinan KPK.
Kedua, dukungan para parpol yang lemah. Para parpol tampak tidak mendukung Presiden Jokowi karena terbukti Presiden Jokowi tidak menguntungkan sama sekali bagi para parpol baik koalisi Jokowi maupun koalisi Prabowo. Pemberantasan korupsi yang menyasar dan berpusat di laut seperti illegal fishing, pencurian BBM, mafia migas, pembalakan liar, illegal logging, mafia narkoba, yang melibatkan para anggota DPR/Polri dan aparat keamanan lainnya sangat merugikan para koruptor.
Selain gebrakan Menteri Susi, penghapusan subsisdi BBM membuat para koruptor kehilangan pemasukan. Begitu pun proyek-proyek yang biasa dimainkan oleh Banggar DPR/D terkendala karenaa pengawasan ketat. Ini tentu merugikan para pengusaha yang sudah terbiasa KKN bersama dengan DPR/D.