Effendi Simbolon berteriak-teriak di tengah tiga kekuatan yang tengah bermain merekayasa kondisi politik, ekonomi, dan keamanan Indonesia. Mampukah Jokowi bertahan? Jokowi tengah dikeroyok oleh tiga kekuatan yang sedang bermain saat ini. Kekuatan politik pertama adalah koalisi Prabowo yang bermain seolah berjalan sendiri tanpa ada kontrol baik dari masyarakat maupun media. Kedua, kekuatan sosial keormasan yang menggalang upaya rekayasa sosial diskondisi keamanan bekerja sama dengan kekuatan politik anti-Jokowi. Ketiga, kekuatan dominasi ekonomi dalam bentuk mafia hukum, migas, pupuk dan kelompok pengusaha hitam yang tersingkir akibat kebijakan Jokowi. Mari kita telaah betapa kekuatan itu semakin membesar dengan upaya menjungkalkan Jokowi dengan hati gembira ria.
Sengaja atau tidak, Effendi Simbolon masuk dalam strategi rekayasa politik. Itulah makanya Fadli Zon dan Fahri Hamzah relatif diam. Dalam politik, rekayasa politik adalah alat paling ampuh untuk menghancurkan lawan. Rekayasa politik akan lebih ampuh lagi jika disertai oleh rekayasa kondisi ekonomi. Rekayasa ekonomi ini bisa berbentuk membuat gejolak harga, kelangkaan energi, penimbunan bahan makanan dan bahan bakar. Rekayasa kegaduhan politik dan ekonomi akan menjadi titik tertinggi menuju rencana menjungkalkan Jokowi. Awal langkah yang dilakukan adalah membuat gaduh di DPR dengan interpelasi yang memiliki tujuan akhir menjungkalkan Jokowi.
Pertama, rekayasa politik lewat DPR dan DPRD. Masih gagalnya legowo dan move on orang-orang koalisi Prabowo tampak sekali terlihat. Bukan hanya di DPR RI. Konsep koalisi permanen Prabowo akan dibentuk di seluruh 33 provinsi dan 500 kabupaten. Deklarasi koalisi permanen di Jogjakarta menjadi contoh betapa niat koalisi ini adalah jelas: menjungkalkan Jokowi dan mengganti dengan Prabowo. Di DKI, akibat perseteruan dengan Ahok dengan H Lulung dan M Taufik, koalisi Prabowo berjanji akan bersikap seperti di DPR - menyapu bersih seluruhnya 100% kelengkapan dewan di DPRD DKI Jakarta. Keadaan ini ditambah dengan kekecewaan pelantikan Ahok oleh Jokowi.
Gambaran kekuatan politik koalisi Prabowo membuat kelompok ini bertindak semaunya: ugal-ugalan. Berbagai pernyataan politik tak santun - dan tak perlu politik santun kata Prabowo - terlontar dari pentolan partai Aburizal Bakrie, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Nurul Arifin dan sebagainya yang memiliki peran masing-masing. Mereka akan melakukan apa saja yang tujuannya membangun opini untuk melakukan rekayasa politik dengan tujuan tertinggi: menjungkalkan Jokowi.
Kedua, rekayasa sosial kemasyarakatan. Selain unsur resmi di DPR dan DPRD hal yang mendukung untuk melakukan rekayasa sosial kemasyarakatan: bahwa masyarakat tidak mendukung Jokowi. Demonstrasi dan aneka unjuk rasa digerakkan. Unsur akademis yang berseberangan juga ditarik untuk membangun rekayasa ini. Contoh paling nyata adalah Lulung dan M. Taufik berkolaborasi dengan FPI dan aneka organisasi massa untuk menolak Ahok. Langkah seperti ini juga tengah dibangun oleh koalisi Prabowo untuk melakukan rekayasa ‘perasaan' masyarakat. Tak peduli besaran jumlah yang ‘demo', yang terpenting adalah adanya berita tentang adanya kekrisuhan dan gejolak politik. Taktik rekayasa sosial ini biasanya sangat efektif jika kondisi obyektif mendukungnya.
Contoh. Rezim Orba pimpinan eyang saya Presiden Soeharto terjungkal disebabkan oleh adanya ‘perasaaan' di masyarakat bahwa eyang saya Presiden Soeharto ‘korupsi', ‘mementingkan bisnis besar', ‘gembong KKN', dan sebagainya. Aneka ‘tuduhan yang direkayasa itu ‘masuk ke dalam sanubari masyarakat'. Tak penting benar atau salah rekayasa itu pada akhirnya, yang penting adanya ‘perasaan' di masyarakat seperti yang diinginkan untuk mendukung rekayasa politik yang sudah digulirkan. Dalam kondisi seperti itu eyang saya Presiden Soeharto tak memiliki pilihan lain selain ‘berhenti'. Itulah kecerdasan eyang saya Presiden Soeharto yang tidak pernah mundur: berhenti memiliki makna beraneka. Itulah seorang politikus hebat yang memiliki magnet kekuasaan dan kekuatan.
Ketiga, rekayasa ekonomi dan dunia usaha yang dibuat lesu dan gejolak harga bahan kebutuhan masyarakat. Tak dapat dipungkiri, kekuatan ekonomi berupa pengusaha hitam yang terkait dengan kekuasaan di lembaga legislatif, yudikatif, dan unsur eksekutif melakukan perlawanan terhadap kebijakan Jokowi. Masa transisi mengganti para pejabat eselon dengan ‘orang Jokowi' paling kurang membutuhkan waktu enam bulan. Masa enam bulan ini dimanfaatkan betul oleh para pejabat masa lalu untuk mengambil posisi condong ke koalisi Prabowo.
Dengan ketiga cara tersebut, maka rekayasa untuk membangun kesan, pesan, peran, gambaran, tentang Jokowi, masyarakat, dan politik serta sosial keamanan terbangun. Jika sudah terbangun, maka kekuatan penentunya adalah TNI. Di sinilah sebenarnya unsur paling penting dalam rekayasa politik: dukungan militer. Selama militer mendukung, seperti kasus Gus Dur, maka upaya itu akan berhasil.
Kini, interpelasi akan dilakukan oleh DPR. Tujuannya adalah membangun rekayasa politik dengan memanfaatkan momentum kondisi sosial dan ekonomi di masyarakat yang dalam posisi menunggu dan pasang kuda-kuda.
Untuk melawan rekayasa itu, sejak jauh hari Jokowi telah menyiapkan penangkalnya. Pertama, mengadu domba para mafia migas, mafia hukum dan mafia-mafia lain. Mafia kelompok masa lalu ditarik lagi di migas dengan gerbong Rini Soemarno dan Sudirman Said - jauh sebelum Effendi Simbolon berteriak, saya telah menulis bahkan sebelum pelantikan mereka.
Kedua, menggalang kekuatan dengan mengganti Panglima TNI dan Kepala Kepolisian serta Kepala BIN dengan orang dekat Jokowi yang lebih loyal. Jokowi harus berhati-hati mengganti orang kuat Moeldoko. Moeldoko ini dikenal memiliki kekuatan pengaruh besar di TNI.