Kisruh KPK versus Polri dan DPRD-Ahok adalah gambaran nyata keterburuan dan pemetaan politik nasional. Makna keterburuan dalam tulisan ini ganda. Keterburuan bermakna kata benda-konsep terkait terburu-buru dan diburu alias ancaman. Makna strategi pertama adalah keterburuan yang dilakukan oleh Megawati dan kawan-kawan. Makna lainnya adalah tentangan dan ancaman serius dari para koruptor.
Mari kita telaah hasil dan kecenderungan pemetaan politik nasional yang menjadi gambaran strategi Presiden Jokowi dengan peran sentral TNI dan BIN dalam politik nasional dengan hati tenang riang gembira bahagia senang ria sentosa dunia akhirat.
Masih, pusat pemetaan politik-hukum dan hukum-politik dilakukan karena adanya peran koruptor yang sangat kentara. Untungnya, di dalam semua hiruk pikuk itu TNI dan BIN berperan besar dalam strategi politik dan hukum Presiden Jokowi.
Kisruh KPK versus Polri yang berujung pelemahan KPK dan pendukungnya berawal dari keterburuan Koalisi Jokowi dengan motornya Mega. Mega menginginkan secepatnya pengamanan lima tahun terkait isu-isu politik-hukum segera dijalankan. Maka, Budi Gunawan menjadi orang kepercayaan untuk kepentingan tersebut.
Presiden Jokowi pun, pada awalnya hanya menggunakan kasus Budi Gunawan sebagai testing the political reality. Namun, tampaknya ruang peluang terbuka bagi koruptor untuk masuk. Abraham Samad, yang memiliki sedikit catatan konflik kepentingan ketika menjadi pengacara, menjadi pintu serangan.
Lima hari sebelum penetapan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, berbagai organisasi LSM mendorong-dorong Abraham Samad untuk segera menetapkan BG sebagai tersangka. Kasus BG yang dikaitkan dengan rekening gendut akan dijadikan alat masuk ke berbagai rekening gendut lainnya. Abraham Samad yang merasa KPK di atas angin selama itu - meskipun tetap tertekan ketika hendak mengusik kasus Century dan BLBI - terpancing.
Presiden Jokowi tersentak dengan sikap Abraham Samad. Presiden Jokowi pun terjepit. Niatan untuk meluluskan keterburuan Mega - sekaligus pendorongan kasus Century dan Hambalang yang menyisir Boediono dan nantinya SBY dan Ibas - berubah menjadi pemetaan realitas politik nasional.
Posisi Presiden Jokowi yang tampak lemah itu dimanfaatkan oleh para koruptor untuk menyerang secara politis dan hukum. Begitu kisruh kriminalisasi KPK terjadi, SBY pun terdiam. Mega pun terdiam. Mereka menginginkan status quo. Bahwa kasus BLBI dan Century serta Hambalang harus terhenti di Boediono dan Nazar.
Yang menarik adalah DPR(D) yang menyetor banyak koruptor menginginkan KPK rontok dan sangat dekat dengan para koruptor bersepakat sama sejalan. SBY yang sudah tahu mayoritas mendukung Kapolri baru mengambil jarak. Padahal SBY mendapat keuntungan karena Samad benar-benar akan tamat. Sejak saat itu SBY tenang dan nyaman karena kasus Century gagal diungkap menyeluruh oleh Samad. Para koruptor pun tenang.
Faktanya, dengan kemenangan BG di pra peradilan - yang mengakhiri kiprah Sarpin sebagai hakim karena akan dikenai sanksi (tergantung kekuatan Jokowi) di Kejaksaan Agung - menjadi pintu euphoria perlawanan para koruptor. Simaklah, Sutan Bhatoeghana mengajukan pra-peradilan yang 1,000,000 persen akan ditolak oleh pengadilan. Suryadharma Ali juga memraperadilankan KPK. Meski akhirnya dia mencabut. Hadi Poernomo si calon koruptor mafia pajak lulusan STAN mangkir dan menolak diperiksa. Berhasilkah mereka?
Nah, Sutan dipastikan akan membuang uang doang untuk pengacara Rasman Nasution itu. Pula Suryadharma Ali manusia tanpa kekuatan. Sutan Bathoegana tak penting di mata para koruptor apalagi. Tak berguna. Jadi seperti Surya, Hadi Purnomo, dan Sutan sama sekali tak berguna jika dibela para koruptor. Mereka tidak punya aliansi kekuatan politik-hukum dalam jaringan besar aneka mafia korupsi.