Kisruh Golkar akan terus berlanjut meskipun Ical akan menang. Agung akan mengajukan banding. Sejatinya, pengadilan TUN adalah Teguh Satya Bhakti - sama dengan praperadilan Budi Gunawan adalah Sarpin. Teguh Satya Bhakti si pengadil kasus kiruh Golkar jelas memiliki kemiripan karakter sama dengan Sarpin: suka publisitas semu. Justru hal di luar masalah materi - dan karakter hakim - yang menjadi penentu kemenangan Ical atas Agung Laksono. Mari kita telaah empat pertimbangan Teguh yang memenangkan Ical - sampai berita ini ditulis - dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia mengendus sisi psikologi Teguh yang terinspirasi Sarpun dengan riang suka cita selamanya senantiasa.
Menelusuri keputusaan dan pendapat Teguh sama mudahnya dengan menelisik pendapat Sarpin Rizaldi. Baik Teguh maupun Sarpin adalah hakim yang sangat unik dari sisi psikologis: suka publisitas dan fenomena. Kesamaan itu yang akan membuat Teguh memutuskan Ical menang - dengan menetapkan MenhukHAM tidak sah menetapkan SK. Artinya, hakim Teguh akan menyatakan keputusan KemenhukHAM adalah salah dan dibatalkan demi hukum.
Latar belakang Teguh yang berhutang budi dengan pengacara Yusril Ihza Mahendra juga menjadi catatan. Teguh tak akan mengecewakan Yusril. Konflik kepentingan ini membuat tekanan terhadap Teguh menjadi berat. Sorotan terkait posisi conflict of interest Teguh dilayangkan berbagai pihak. Komisi Yudisial dan ICW pun memantau. Namun, sama seperti Sarpin, Teguh akan bersiteguh mengikuti kata hatinya: demi catatan publisitas di dalam hukum Indonesia.
Kondisi tekanan psikologis bagi Teguh sama ketika tekanan dialami oleh Sarpin. Kasus Teguh menyita perhatian publik karena akan menentukan perjalanan kekuasaan dan stabilitas Indonesia. Melihat sepak terjang Teguh, dipastikan Teguh berkecenderungan mendukung Ical. Dengan Ical menang - artinya SK MenhukHAM dianggap batal dan tidak legal - maka akan menciptakan suasana hukum baru. Hal ini persis sama dengan sikap Sarpin yang ingin tercatat sebagai orang yang mengubah hukum terkait obyek praperadilan yakni: penetapan tersangka.
Dalam kasus psikologi Teguh, dengan membatalkan keabsahan keputusan SK MenhukHAM terkait penguasa Golkar Agung, maka Teguh akan tercatat sebagai orang penting yang menentukan bagi Golkar. Teguh akan sefenomenal seperti Sarpin dan hakim Mahkamah Konstitusi. Hal ini penting bagi pemenuhan kepuasan psikologis Teguh yang ingin dipenuhi.
Berbagai pertimbangan hukum yang dipaparkan di persidangan hanya akan menjadi hiasan pengambilan keputusan Teguh. Saksi ahli yang diajukan dan bahkan kesaksian di persidangan hanya akan menjadi unsur bunga rampai pengambilan keputusan: SK MenhukHAM dibatalkan.
Konsekuensi logis secara hukum, keputusan memenangkan Ical akan memicu kisruh Golkar akan berlanjut. Dipastikan kubu Agung akan mengajukan banding - hal sama jika Agung menang Ical akan ajukan banding. (DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah gerah dan sedang berusaha merevisi UU Pilkada yang belum diundangkan. Presiden Jokowi tak akan menggubris Fadli Zon demi memuluskan Golkar Ical ikut Pilkada. Hal yang aneh Undang-undang diubah hanya untuk memberi peluang partai kisruh ikut Pilkada. Namun, tindakan Fadli Zon dan Fahri Hamzah wajar karena begitu Golkar Ical gagal ikut pilkada, maka Koalisi Prabowo dirugikan hanya menyisakan Gerindra dan PKS.)
Konsekuensi berikutnya, jika Teguh tetap nekad memenangkan Ical, karir Teguh akan meningkat ketika kekuasaan berubah nanti. Namun, selama kekuasaan masih di tangan Presiden Jokowi - Teguh hanya akan menjadi noktah dan catatan hitam dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Meskipun namanya menjulang tinggi dan dielukan oleh Ical - pengusaha yang sudah bangkrut. Teguh tetap akan memilih jalan memenangkan kubu Ical. Ini semua demi mengharumkan nama diri sekelas Sarpin.
Jadi, ada tiga pertimbangan subyektif Teguh yang sangat emosional itu yang akan memenangkan Ical. Pertama, faktor psikologis lebih menjadi sebab yakni kesukaan publisitas dan faktor kenekatan dan suka publisitas yang menjadi sebab Ical menang. Kedua, faktor conflict of interest balas budi Teguh yang pernah dibantu oleh Yusril di MK. Ketiga, faktor subyektif psikologis Teguh lainnya yakni kesenangan melihat ‘konflik terus berlanjut di Golkar' dan kestabilan pemerintahan Presiden Jokowi terus tak menentu. Keempat, faktor meniru ketenaran Sarpin Rizaldi yang bersejarah: meskipun kontroversial dan konyol merusak tatanan hukum - demi alasan hukum progresif yang keblinger.
Demikian gambaran sisi psikologis Teguh yang memenangkan Ical sampai detik ini. Hanya keajaiban yang akan mengubah keputusan Teguh ini. Kita tunggu dengan santai saja ketok palu Teguh pekan depan yang menggegerkan publik. (Salah satuya konon Teguh pun menambahkan rekomendasi - setelah sebelumnya membuat rekomendasi menunda keabsahan SK MenhukHAM.)
Salam bahagia ala saya.