[caption caption="Setya Novanto I Sumber Kompas.com"][/caption]Dinamika putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Rabu (16/12/2015) dalam kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla sangat luar biasa. Namun, keputusan yang diambil adalah keputusan banci: antara bersalah dan tidak bersalah yang berupaya menyelamatkan Setya Novanto. Hukuman itu adalah teguran. Selesai. Konsekuensi dari pelanggaran berhukuman teguran ini adalah Setya Novanto tetap duduk di DPR sebagai Ketua DPR. Lho kok? Bukankah menjadi akumulasi? Mari kita telaah keputusan beserta dalil-dalil yang musykil dan dicari-cari yang ditengarai muncul dalam keputusan MKD dan reaksi antisipatif the Operators tersebut dengan hati jauh dari gembira ria riang sentosa bahagia suka-cita pesta-pora selamanya senantiasa.Â
Rancangan keputusan MKD yang berseliweran yang akan jelas menghasilkan dissenting opinion dari 2 orang yakni Sudding dan Akbar Faisal plus satu atau dua orang lain. Selebihnya mereka koor bersama demi membebaskan Setya Novanto. Kedok penyelamatan muncul ketika trik MKD yang meminta rekaman asli akan dibantu oleh Jenderal Luhut Pandjaitan. Begitu hendak dipenuhi, MKD menyatakan rekaman asli tidak perlu lagi.
Pun soal menghadirkan Riza Chalid atai Reza Chalid dianggap tidak perlu – karena MKD tahu bahwa kesaksian Reza Chalid semakin membuka kedok penyelamatan akan menjadi lebih susah. Untuk itu permintaan kepada Jenderal Luhut hanya bluffing semata. Maka untuk agar lebih mudah membuat keputusan penyelamatan, maka MKD memutuskan tetap menyimpan Reza Chalid atau Riza Chalid agar tidak bersaksi dan rekaman tidak butuh lagi: alasannya reses dan waktu terbatas.
Dari dalil dan dalih dan alasan yang disampaikan oleh MKD pun menyatakan bahwa keabsahan sidang pun dipertanyakan dengan puluhan argumen dalam amar putusan yang juga hanya sebagian diketahui publik. Pun dalam hal itu menjadi rahasia. Bahkan ada pendapat bahwa sidang MKD yang sudah berlangsung seharusnya tidak bisa dilaksanakan karena adanya unsur politis dalam kasus Setya Novanto. Itulah dalil yang mendasari keputusan. Untuk itu intisari keputusan menjadi seperti berikut ini.
Pertama, Setya Novanto melanggar etika untuk perbuatan yang berbeda. Dia tidak mengulangi perbuatan yang sama yakni bertemu dan ikut kampanye Donald Trump lagi. (Novanto pun tidak bilang lagi yes highly dan yes ye yes.) Wkk. Jadi ketika melanggar etika dalam kasus Papa Minta Saham, maka Setya Novanto dikenai pelanggaran etika ringan berupa teguran.
Kedua, MKD melihat bahwa teguran karena kasus Setya Novanto terkait Donald Trump pun hanya terguran yang sifatnya: tak jelas antara lisan maupun tulisan. Yang pentig teguran. Karena sifat teguran itu maka tidak bisa diakumulasi dan dikumpulkan menjadi pelanggaran ringan. Satu teguran plus satu teguran dan tidak menjadi satu pelanggaran ringan sekalipun.
Ketiga, MKD melihat berdasarkan fakta dari saksi-saksi terdapat hal yang mendasar yakni legal standing pelapor Sudirman Said. Padahal ini bukan perkara pidana lho…wkwkwk. Lalu legal standing perekamanan oleh Maroef Sjamsoeddin dinilai tidak sah. Untuk itu keputusan MKD yang diambil pun mengacu kepada ketidaksahan alat bukti (rekaman yang belum tentu benar karena ada dua versi 20 menit dan 1 jam 27 menit) dan pelapor dan saksi yang dinilai illegal dan tidak memiliki legal standing untuk menentukan pelanggaran etik.
Jadi, untuk sementara posisi real time di lapangan yang bisa ditangkap oleh the Operators ya seperti itu dan jelas langkah-langkah dalam 24 jam ke depan serta langkah lanjutan terkait dengan perkembangan itu akan sangat menentukan.
Aksi dan reaksi espionage dan counter espionage dari mafia hukum, politik, mafia Petral Reza Chalid . The operators of silent operation tetap bergerak untuk tetap dengan tujuan awal: Setya Novanto lengser dan mengusut dan mengadili mafia Petral Riza Chalid atau Reza Chalid yang jelas sudah disebut dalam audit Petral merugikan negara sebesar US $ 18 miliar alias Rp 2,500 triliun.
Maka, kini segala upaya tengah dilakukan dari kedua belah pihak. Terkait keputusan MKD yang aneh bin ajaib itu, maka the Operators sejak awal tidak memandang MKD perlu. Untuk itu Jenderal Luhut Pandjaitan pun tidak mau bersaksi berlebihan di perkara etik yang jelas sudah digiring untuk upaya membebaskan Setya Novanto. Langkah lain di ranah hukum menjadi penentu.
The Supreme Operator of operators of silent operation pun tetap memiliki skenario yang tetap dan menetapkan satu tujuan. Kegagalan Presiden Jokowi untuk memberesi masalah Papa Minta Saham menjadi penentu siapa yang akan bertahan: mafia atau Presiden Jokowi yang akan berkuasa.