Presiden Jokowi telah menunjuk calon Kepala BIN: Sutiyoso. Penunjukan Sutiyoso sudah dipastikan akan menuai reaksi – meskipun cuma riak.Yang menggelikan reaksi dipastikan dari partai koalisi Presiden Jokowi: PDIP. Reaksi PDIP ini menjadi catatan yang unik karena PDIP bukan hanya partai pengusung Presiden Jokowi – namun juga sesama partai pendukung Presiden Jokowi. Berbagai reaksi terhadap kebijakan Presiden Jokowi sebenarnya membuka sistem komunikasi dan kekuasaan di PDIP yang unik. Mari kita tengok kontroversi penunjukan Sutiyoso sebagai Kepala BIN yang mendapatkan reaksi dari PDIP dengan hati riang gembira suka cita bahagia pesta pora riang ria menyambut Sutiyoso senang sentosa senantiasa selamanya.
Peritiwa kelam 27 Juli 1996 – yang menandai awal keruntuhan rezim eyang saya Presiden Soeharto – adalah tonggak menaiknya popularitas Megawati-Taufik Kiemas dalam kancah politik Indonesia. Kudatuli ini pula yang menyebabkan PDIP memenangi Pileg 1999. Mega pun seharusnya menjadi Presiden RI jika tidak dikerjai oleh Amien Rais dengan Poros Tengah-nya. Dalam masa kekuasaan Megawati sebagai Presiden RI selama 2 tahun lebih – tak sekali pun Mega hadir dalam acara peringatan 27 Juli 1996. Mega melupakan peristiwa tersebut. Hanya orang seperti saya yang kehilangan teman bernama Sony di depan mata yang dicokok dari peristiwa keributan massa Suryadi dengan pendukung Mega. (Saya tertolong dan tidak ikut diciduk oleh pendukung Suryadi karena dilindungi oleh wartawan senior Rosihan Anwar yang berdiri di dekat Jl. Surabaya.)
Mega sama sekali tidak peduli dengan peristiwa itu selama menjadi Presiden RI. Peristiwa 27 Juli 1996 telah dianggap selesai oleh Megawati dan tentu mentor penguasa sebenarnya the Godfather Taufik Kiemas. Maka menjadi hal yang aneh ketika PDIP akan memertanyakan kasus kudatuli itu terkait pengangkatan Sutiyoso sebagai Kepala BIN. Untuk apa muncul pertanyaan itu? Pengangkatan Sutiyoso sebagai Kepala BIN adalah langkah paling tepat untuk konsolidasi politik Presiden Jokowi. Kecerdasan politik Presiden Jokowi benar-benar terasah. Setelah mengangkat calon Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, yang menguatkan posisi politik Presiden Jokowi, pengangkatan Sutiyoso pun sangat strategis.
Diangkatnya Jenderal Sutiyoso menguatkan hubungan dengan (1) Prabowo, karena dengan adanya Sutiyoso maka segala hal yang terkait dengan isu HAM selesai dan tak akan lagi kontroversi sekaligus ‘pemegangan’ berbagai individu yang dianggap terkait dengan isu HAM baik 1996 maupun 1998.
Lalu (2) masuknya Sutiyoso ke BIN memberikan penguatan dukungan baik bagi koalisi Prabowo maupun koalisi Jokowi, karena jabatan sebagai Kepala BIN adalah soal segala perilaku politik DPR yang harus diredam – setelah KPK berupaya dilemahkan. BIN menjadi ujung tombak kekuasaan intelejen penekan DPR yang efektif untuk menggantikan fungsi intelejen KPK dalam politik. Dengan pengangkatan Sutiyoso maka segala gerakan DPR akan terpantau dengan mudah dan efektif.
Pun (3) pengangkatan Sutiyoso yang jelas pendukung Jokowi memberikan kekuatan dan keleluasaan menjalankan pemerintahan lebih teduh di tengah politik gaduh yang dibangun oleh Fadli Zon, Fahri Hamzah dan SBY. Maka, DPR pun senyap menanggapi pencalonan Sutiyoso. Nah, unsur pendukung status quo dan penelikung NKRI di DPR yakni para calon koruptor, memanfaatkan PDIP untuk bersuara.
Dapat dipastikan manusia seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon serta Bambang Soesatyo serta Effendi Simbolon sekalipun tak akan berteriak-teriak nggak karuan terkait pencalonan Jenderal Gatot dan Bang Yos. Kecut dan tak berani. Untuk itu mereka memanfaatkan PDIP untuk berteriak hanya sekedarnya. Dan, anehnya PDIP bersedia dijadikan kuda tunggangan bagi para orang yang takut langsung komentar terhadap Bang Yos. (Karena DPR takutnya cuma sama TNI - dan Polri, dan bukan konstitusi.)
Sikap PDIP ini aneh dan tampak menjadi oposisi bagi Presiden Jokowi. PDIP harus belajar menjadi partai pemerintah dan penguasa – bukan penguasa oposisi. Sikap seperti yang ditunjukkan oleh Rieke Dyah dan Effendi Simbolon tidak produktif baik bagi Presiden Jokowi maupun bagi PDIP. Jadi, benar soal kudatuli 1996 dan peristiwa 1998 dan pelanggaran HAM sudah selesai dan bukanlah prioritas yang harus ditangani. PDI-Suryani-lah yang menjadi pemicu kerusuhan. Juga termasuk kasus penculikan 1998 sudah ditangani dan Prabowo pun sudah menglarifikasi dan bahkan telah diberhentikan. Mau apa lagi? Munir? Munir sudah selesai pula karena Polycarpus telah dihukum dan telah dibebaskan.Maka isu HAM bukanlah menjadi prioritas dan diselesaikan seperlunya. Hal ini diperlukan agar Indonesia maju ke depan dan tidak tersandera masa lalu yang kelam.
Maka pengangkatan Sutiyoso menjadi salah satu tonggak menyembuhkan luka lama – dan pertanyaan PDIP juga hanya formalitas untuk membahagiakan pegiat tukang teriak di DPR. Sutiyoso menjadi ujung tombak perubahan menuju upaya stabilitas politik dan menghindari politik gaduh yang dibangun oleh trio kweek-kweek Fahri Hamzah, Fadli Zon dan Bambang Soesatyo serta bonus Effendi Simbolon.
Jadi, pertanyaan PDIP sebenarnya tak ada kaitannya dengan Megawati. Hanya orang-orang sekeliling Megawati saja – yang meminta tambahan kursi namun dibantah oleh Pramono Anung sebagai bukan sikap resmi PDIP, jadi hanya keinginan oknum PDIP seperti Ahmad Basarah. Megawati pun memahami bahwa pengangkatan Sutiyoso sebagai kepala BIN telah dikonsultasikan dan didukung oleh Kepala BIN Marciano Norman dan mantan Kepala BIN Om Hendropriyono, dan tentu Panglima TNI Jenderal Moeldoko.
Untuk itu pertanyaan terkait pencalonan Sutiyoso oleh PDIP hanyalah peristiwa pesanan trio kweek-kweek yang tak berani berbicara langsung. Maka tepat sekali Presiden Jokowi mengangkat Kepala BIN Sutiyoso yang bermanfaat untuk membongkar birokrasi di DKI dan skala nasional.