Di tengah krisis hukum-politik dan politik-hukum, harga beras naik. Presiden Jokowi harus segera memerintahkan Bulog untuk menggelar operasi pasar. Selain itu stok beras di Bulog sebesar 1,7 juta ton bisa digunakan untuk pemberian beras orang miskin alias raskin. Mari kita tengok gonjang-ganjing kenaikan harga beras akibat ulah spekulan yang bekerjasama dengan para koruptor, serta ingatan pada rezim eyang saya Presiden Soeharto di pasaran dengan hati sedih perih sedu sedan itu.
Di tengah kenaikan harga bahan makanan dan beras, publik diingatkan dengan masa keemasan eyang saya Presiden Soeharto. Dalam mengendalikan harga, eyang saya Presiden Soeharto mengumumkan setiap hari dua kali harga-harga dari mulai cabe sampai kol gepeng (he he he bentuk kol gepeng sampai sekarang saya belum pernah lihat tetapi selalu mendengar lewat radio RRI setiap hari.)
Pengendalian harga lewat pengumuman di seluruh pasar induk di Indonesia dan sentra produksi memberikan gambaran patokan harga pasar terhadap berbagai kebutuhan pokok; termasuk beras. Hasilnya? Harga-harga bahan makanan terkendali dan rakyat makmur sejahtera bahagia loh jinawi khusus untuk makanan dan pakaian - soal politik dibungkam.
Kini, di tengah keterbukaan, gejolak harga sangat liberal dan tak ada sama sekali kontrol pemerintah. Pemerintah tampaknya abai terhadap kepentingan rakyat. Sampai saat ini setelah dua minggu, DPR baru berteriak tidak karuan setelah rakyat menjerit akibat kenaikan harga beras yang mencapai 30%. Sungguh memrihatinkan. Kondisi sekarang sangat berbeda dengan masa kekuasaan indah eyang saya Presiden Soeharto. Mari kita tengok kondisi sekarang terkait harga beras.
Di pasar induk beras Cipinang, pasokan beras menyusut. Padahal pasar induk utama itu menjadi pintu masuk distribusi beras di wilayah Dejabotabek dan sekitarnya. Maka tak mengherankan persediaan beras di pasaran merosot. Di berbagai pasar tradisional, agen penjual eceran, berbagai jenis beras menghilang. Yang aneh adalah bahwa beras premium pun ikut hilang dari peredaran. Yang mengejutkan adalah harga beras di pasaran melonjak sampai 20-30% dalam dua minggu terakhir.
Tak mengejutkan memang. Di tengah carut-marut hukum dan politik, banyak pihak bermain. Salah satunya yang paling getol adalah para koruptor. Permainan spekulan beras memanfaatkan tata niaga beras Bulog yang harus melalui rantai penjualan. Beras Bulog didistribusikan dan dikumpulkan melalui parapedagang besar, agen, sub-agen, dan pengecer alis juragan beras.
Kenaikan harga beras sampai di atas Rp 10,000 rupiah untuk beras kelas biasa sungguh tak bisa dibenarkan. Alasan pasokan dari Kerawang dan Cirebon merosot karena banjir tak dapat ditolerir. Bulog sebagai pembeli beras dan pengatur tataniaganya berfungsi sebagai penyangga kebutuhan dasar rakyat.
Kisruh politik-hukum akan sangat menjadi riuh rendah jika kebutuhan pokok selain BBM tak terkendali. Kenaikan harga 9 bahan pokok pun tak terhindarkan dengan rata-rata kenaikan antara2-3 %. Kenaikan harga-harga itu mengikuti trend kenaikan harga beras yang mencapai 30%.
Para pedagang eceran pun menyebutkan bahwa kelangkaan beras dan kenaikan harga beras disebut sebagai permainan spekulan pemilik modal. Beras sengaja ditahan. Akibatnya pasokan merosot. Harga pembelian dasar 3 minggu lalu bisa digunakan untuk menjual harga beras dengan harga baru: melonjak sampai 30%.
Dalam kondisi tidak menentu, para pedagang eceran tentu akan menahan persediaan beras premium. Beras premium sengaja disimpan karena lonjakan harga beras biasa pun telah memberikan keuntungan berlipat dibandingkan dengan menjual beras mutu premium yang memang sudah tinggi.
Yang mengherankan adalah Bulog. Bulog sebagai pengendali harga, sudah seharusnya menyalurkan beras untuk orang miskin dan melepaskan stoknya. Namun sampai dua minggu ini, Bulog terkesan membiarkan pergerakan harga beras. Bulog yang selama masa eyang saya Presiden Soeharto sampai kepada pemerintahan Gus Dur menjadi ladang korupsi, kini nampaknya ada dalam genggaman para pemilik modal. Bulog patut dicurigai ikut memermainkan harga.