Presiden Jokowi tepat sekali mengangkat HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Mantan politisi NasDem ini memiliki misi untuk menyidik pihak-pihak tertentu yang bermasalah hukum. Utamanya target yang harus dicapai adalah mengimbangi KPK dalam penanganan pelanggaran hukum terkait korupsi dan kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh aneka perusahaan. Selain itu pemilahan penindakan hukum akan dilakukan untuk mengimbangi gejolak politik. Bagaimana strategi koalisi Presiden Jokowi secara menyeluruh terkait dengan upaya penguatan dan kekuatan hukum untuk menguatkan pemerintahan dari rongrongan oleh koalisi Prabowo? Mari kita telaah dengan hati riang gembira bahagia dan sejahtera fid dunya wal akhiroh ...
Hakikat hukum dalam politik sebagai alat untuk mengatur kekuatan dan mengumpulkan kekuatan banyak tak dipahami oleh publik. Publik berpikir bersih dan benar. Padahal sejatinya hukum adalah alat kekuasaan untuk memberikan tekanan terhadap musuh politik. Hukum di bawah politikus adalah permainan untuk menentukan individu atau kelompok saja pelanggar hukum yang akan dicokok; dan individu atau kelompok yang akan dibiarkan berkeliaran dan kleleran ke sana ke mari dengan ketakutan dan ketidaknyamanan.
Para politikus ketika berkuasa akan selalu menempatkan kekuatan untuk berkompromi dengan para pelanggar hukum level ketua partai, tokoh masyarakat, pengusaha hitam, aliansi gangster hukum, ekonomi yang merampas kesejehteraan rakyat. Para politikus, termasuk yang tertinggi yakni Presiden Jokowi pun, akan bertindak tebang pilih sebagai cara mengeksekusi berbagai kepentingan. Hukum dijadikan sebagai alat tawar oleh penguasa. Ini hal yang wajar. Menurut politik sebagai alat pencari kekuasaan hitam dan penjahat hukum.
Bahkan SBY pun selama 10 tahun berhasil mengerem langkah-langkah hukum Kejaksaan Agung yang selalu memberi kemenangan kepada pihak-pihak yang dituntut oleh Antasari Azhar. Kasus penggelapan pajak Asian Agri dan perusahaan lain dan kasus-kasus pajak lain juga mengambang. Kenapa? Karena SBY sebagai penguasa riil memiliki hak untuk mengatur anak buahnya termasuk Jaksa Agung - yang secara teori trias polica independen seharusnya. Faktanya, Jaksa Agung adalah instrumen politik: alat politik penguasa melalui sektor hukum.
Penunjukan HM Prasetyo dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk memberikan tekanan keberpihakan hukum kepada partai pemenang pemilu. Penunjukan Jaksa Agung dari internal akan menyandera Jokowi dan keberpihakan jaksa agung kepada status quo. Kalangan internal kejaksaan agung selalu tidak mampu keluar dari pembelaan esprit de corps; alias semangat membela membabi buta lembaga kejaksaan agung. Benar atau salah tetap membela Kejaksaan Agung sebagai sumber almamater dan kejahatan hukum.
Kalangan status quo yang bercokol di dalam kejaksaan agung dan DPR akan mencengkeram Jokowi jika kalangan internal kejaksaan agung ditunjuk. Pun di luar partai akan menyebabkan posisi Jokowi tidak nyaman. Maka pilihan jatuh ke HM Prasetyo untuk mendorong penegakan hukum secara legal-politics alias politik-hukum dan politics-legal dan hukum bercampur poliik: itulah hakikat kekuasaan yang subyektif. Hukum digunakan sebagai kendaraan politik untuk menekan pesaing dan lawan politik. Makanya jangan kalah pemilu agar menguasai hukum.
Upaya hukum untuk menindak pelaku pelanggaran hukum secara tebang pilih adalah hak sepenuhnya pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan hukum yakni Presiden Jokowi saat ini memiliki hak untuk meminta prioritas penegakan hukum secara tebang pilih. Maka karena kondisi seperti ini menimbulkan kecaman dari berbagai pihak yang dirugikan dan terancam kepentingannya. Jelas yang pertama berang adalah anggota koalisi Prabowo.
Para pelanggar hukum perpajakan dari koalisi Prabowo akan diincar. Kasus pelanggaran hukum HAM yang melibatkan Prabowo akan diusut lagi. Kekuasaan Ahok di Jakarta akan dikuatkan melalui keputusan apapun seacara hukum. Kejaksaan Agung menjadi gawang proteksi hukum pemerintahan Jokowi. Saingan Kejaksaan Agung adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang ada di tangan koalisi Prabowo. Maka tak mengherankan jika Jokowi menetapkan politikus NasDem menjadi Jaksa Agung untuk mengimbangi Hamdan Zoulva dan Patrialis Akbar di MK.
Setelah menunjuk Jaksa Agung dari partai, maka perimbangan kekuatan di bidang hukum ini akan lebih kuat lagi ketika Kepala BIN pun ditunjuk dari internal PDIP. Kepala BIN ini akan membantu (1) menguatkan Jaksa Agung untuk menindak pelanggar hukum secara tebang pilih (2) mengidentifikasi ancaman ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, (3) memberikan tekanan politik kepada koalisi Prabowo dengan pendekatan hukum-politik tebang pilih, yang jelas akan meresahkan.
Karenanya, ditambah dengan kekuatan KPK, maka menjadi tidak salah dan wajar jika pengangkatan Prasetyo menakutkan koalisi Prabowo. Jelas hukum-politik dan politik-hukum menjadi praktek nyata yang sedang dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan riil dan nyata. Bukan kekuasaan ala Prabowo yang hanya dalam tataran kekuasaan ‘penyeimbang' dan ‘kekuasan semu dan palsu'. Kekuasaan itu ada pada Presiden Jokowi dan seluruh pemenang pemilu: bukan pada Prabowo sama sekali. Itulah gambaran nyata dan benar terkait pengangkatan Prasetyo dari sisi hukum-politik dan politik-hukum yang berlaku parallel. Dan ... pemegang politik dan hukum adalah penguasa sesungguhnya di pemerintahan; bukan oposisi.
Salam bahagia ala saya.