Pramono Anung menjadi inisiator islah DPR kubu Prabowo dan Jokowi. Namun di DPR ada banyak orang selain orang seperti Pramono Anung. Ada Adian Napitupulu, mana yang Anda sukai? M. Taufik? Atau Anang Hermansyah? Atau Ruhut Sitompoel? Menarik melihat sepak terjang Pramono Anung yang berbeda dengan Adian Napitupulu. Juga, Hidayat Nur Wahid tampak berbeda dari Muhammad Taufik atau Fahri Hamzah atau Fadli Zon atau Lulung bahkan politikus Nurul Arifin, atau Tantowi Yahya. Terdapat perbedaan antara satu anggota DPR (D) dan anggota lainnya. Namun secara umum dapat jenis karakter anggota DPR (D) menjadi 6 kategori dengan persamaan dan perbedaannya. Bagaimana keenam kategori itu muncul dalam wacana publik dan apakah penyebabnya sehingga terdapat enam jenis anggota DPR (D) dilihat dari sikap dan tingkah laku mereka?
Pertama, jenis politikus DPR matang seperti Pramono Anung. Publik pasti bisa melihat perbedaan pernyataan keras Pramono Anung. Kematangan berpolitik ditunjukkan dengan m enolak keberadaan DPR tandingan. Sontak penolakan ini memberikan warna lain di mata koalisi Prabowo. Maka jadilah dia juru runding yang dianggap netral dan tidak terlalu PDIP. Kematangan dan kesantunan berpolitik diajarkan dengan menyindir Fadli Zon.
Dalam berpolitik, Pramono Anung telah memahami dengan baik fatsun dan keyakinan politik partai telah dipahami. Lebih mementingkan bangsa, negara, dan partai dibandingkan dinamika politik yang tampak di permukaan. Bagi Pramono Anung, berpolitik adalah seni yang harus dipahami mendalam dan bukan hanya sekedar mengeluarkan pernyataan. Berpolitik adalah pencitraan terhadap diri sendiri. Ini yang menjadi dasar sikap santun politik yang diyakini oleh Pramono Anung.
Politikus dan anggota DPR sejenis Pramono Anung seperti Boy Sadikin, Ganjar Pranowo, Akbar Tandjung, Aksa Mahmud, dan almarhum H. J. Naro. Memang sangat sedikit politikus atau anggota DPR yang bisa sekelas dengan mereka.
Kedua, jenis politikus / anggota DPR setengah matang seperti Nurul Arifin. Kelompok ini senangnya berkomentar bombastis. Penyebabnya jenis Nurul Arifin ini adalah pemahaman tentang politik yang hanya dilihat dari sisi fenomena dan bukan esensi dari fenomena yang berlangsung dalam dinamika politik. Akibatnya, pernyataan-pernyataan Nurul Arifin menimbulkan reaksi yang hanya bombastis dan tidak substansial, tidak memiliki kedalaman esensi. Hanya lontaran pernyataan yang mudah didengar dan mudah dilupakan.
Dalam berpolitik, politikus setengah matang seperti Nurul Arifin, Tantowi Yahya, mengalami hal baru dan penuh eforia ketika menjadi anggota DPR atau politkus. Dunia baru dengan segala gelimang peluang uang menjadi hiasan dan harapan kehidupan. Mereka melihat fenomena politik sebagai realita politik. Akbatnya, berbagai pernyataan politik dan reaksi berpolitik terhadap fenomena politik tidak mendalam dan bahkan sering hanya menimbulkan reaksi politik masyarakat yang mengernyitkan dahi, geli, dan ditertawakan baik oleh lawan politik atau teman politik serta masyarakat luas dan media.
Politikus dan anggota DPR sejenis Nurul Arifin tergambarkan dalam diri Ibas, Tantowi Yahya, Rachel Maryam, Andi Arief dan beberapa lainnya.
Ketiga, politikus DPR kontroversial cerdas seperti Ruhut Sitompoel, Rieke Dyah Pitaloka dan Budiman Sudjatmiko. Para politkus ini memiliki pemahaman politik yang dalam dan aneka pernyataan politik dan sikap politiknya selalu disejajarkan dengan kepentingan rakyat dan partai dalam skala prioritas dan alasan yang sahih. Sering pernyataannya bertolak belakang dengan kebijakan partai. Contoh Ruhut Sitompoel berseberangan dengan SBY dan Ibas. Ruhut mendukung Jokowi dalam pilpres, Ibas mendukung Prabowo. Demikian pula Rieke juga sering mengeluarkan pernyataan kontroversial. Namun ketiga orang ini komit terhadap pemberantasan korupsi dan kesejahteraan rakyat. Program JPJS adalah salah satu bukti keberhasilan perjuangan Rieke dan Budiman di DPR, sementara Ruhut lebih memberikan pembelaan kepada rakyat dalam retorikanya.
Kelompok jenis Rieke, Ahok, Ruhut dan Budiman ini langka dan barang langka di kancah politik dan DPR.
Keempat, politikus keturunan anak-anak pentolan partai seperti Ibas. Nah, sepak terjang politikus seperti Ibas menjadi lucu. Ketidakmatangan berpolitik dan mendompleng orang tuanya adalah gambaran tepat untuk Ibas. Dalam berpolitik, kelompok ini lebih menekankan kepentingan keluarga dan partai. Politik bagi Ibas hanyalah wacana dan kendaraan meraih kekuasaan. Ketika kekuasaan telah hilang, maka unsur perasaan menjadi penentu kebijakan partai. Ibas senang berseberangan dengan pemerintahan Jokowi karena menikmati penghargaan kekuasan - meskipun semu - di kalangan gerombolan koalisi Prabowo. Ubyang-ubyung ke sana ke mari dengan koalisi ‘kekuasaan semu' ala Prabowo dinikmati dengan baik.
Anggota jenis politkus keturunan ya Puan Maharani misalnya. Muhaimin Iskandar juga termasuk di dalamnya. Andika Tomet dari Banten anak Ratu Atut juga termasuk polikus jenis ini yang membabi buta membela keluarga dan partai.