Perkembangan menarik. Dipastikan hanya ada dua capres. Jokowi dan Prabowo. Ini fenomena menarik. Penyebabnya adalah Golkar dan Demokrat. Golkar yang tak laku dan lambannya Demokrat telah memakan korban. Golkar yang memaksakan Ical alias Aburizal Bakrie tak mendapatkan teman koalisi. Demokrat pun yang sejak awal disebut sebagai king maker dan key player dan penentu koalisi akhirnya menjadi korban kelambanan gerak mencari mitra koalisi. Kini, Golkar dan Demokrat kesulitan membangun koalisi. Bahkan Golkar dan Demokrat jika bergabung pun sudah kehilangan momentum. Di samping itu, kedua partai tak memiliki capres yang layak dijual. Ke mana arah dukungan kedua partai tersebut dan apa implikasinya?
Golkar dan Demokrat realistis tak mampu membangun koalisi. Hasil konvensi capres partai Demokrat tak menghasilkan apapun bagi para calon. Golkar pun yang memaksakan pencalonan Ical yang 100% pasti kalah akhirnya mundur dan harus mendukung partai atau capres lain. Bahkan jika Golkar dan Demokrat memaksakan capres dan cawapres pun tak akan disambut oleh rakyat. Momentum membangun koalisi terbuang percuma.
Langkah Jokowi yang gesit dan upaya tak kenal lelah Prabowo telah menghasilkan koalisi. Bermodal kekuatan sebagai pemenang Jokowi cepat meraih dukungan NasDem. Sementara Prabowo dengan manhuvernya mendapatkan dukungan PKS, PPP dan PAN belakangan. Golkar justru bermain-main dengan tawaran capres Ical dan bahkan menurunkan niat menjadi capres: dengan bersedia menjadi cawapres bagi Jokowi. Jokowi menawarkan alternatif Jusuf Kalla sebagai kader Golkar. Prabowo pun menerima Golkar dengan Ginanjar Kartasasmita - tetapi tetap menolak Ical. Namun, Prabowo pada akhirnya didukung oleh Hatta Rajasa - Hatta Rajasa diyakini sebagai penumpang gelap utusan SBY.
Kini, sangat ironis peran Golkar dan Demokrat digantikan oleh partai kecil seperti Gerindra, PKS, PPP, PAN, dan PKB bahkan NasDem dan Hanura. Para partai menengah itu merecoki gerak politik Golkar dan Demokrat yang sudah telanjur merasa besar dan penting - Golkar pemenang kedua (14%) dan Demokrat keeempat (10%). Padahal Golkar dan Demokrat tak memiliki calon presiden yang sekelas Jokowi atau bahkan Prabowo. PDIP dengan Jokowi dan Gerindra dengan Prabowo lebih menarik partai kecil untuk merapat dan mendukung mereka - dan Golkar dan Demokrat ditinggalkan.
Kini yang tersisa, Golkar dan Demokrat hanya memerankan diri menjadi penumpang gelap baik bagi Jokowi maupun Prabowo - tergantung arah dukungannya. Peran Golkar dan Demokrat hanya akan menjadi beban politik - karena mereka dibutuhkan di parlemen tapi tak dibutuhkan dalam pilpres - baik bagi Prabowo maupun Jokowi.
Beban politik itu adalah sosok Ical yang tak diterima masyarakat karena telanjur terstigma Lumpur Lapindo dan Demokrat yang porak-poranda akibat dihukum oleh rakyat akibat korupsi masif para pentolan partai seperti Anas, Angie dan Andi. Dan, beban politik itu hanya akan ngribetin timses Prabowo atau pun Jokowi dalam pilpres 2014 - siapapun yang didukung.
Adakah Prabowo atau Jokowi berani menolak Demokrat dan Golkar karena beban politik yang berat itu?
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H