Heboh Dwi Estiningsih memang sesuai dengan pamahamannya sendiri. Menarik sekali pernyataan Dwi Estiningsih ini jika dikaitkan dengan isi Piagam Madinah yang mengatur hubungan antar umat beragama di Madinah pada zaman Rasullullah SAW dengan kehidupan pluralisme Indonesia dalam NKRI. Sesungguhnya perspektif pribadi Dwi Estiningsih yang mengatasnamakan Al Qur’an dapat dipahami secara lebih utuh dengan memahami konsep negara madani yang diciptakan oleh Muhammad SAW berdasarkan Piagam Madinah dan memahami roh, tujuan, dan esensi Al Qur’an bagi muslim dan non-muslim.
Mari kita telaah Piagam Madinah dalam konteks pluralisme NKRI sambil menertawai ngakaki ciutan Twitter Dwi Estiningsih sambil menari menyanyi koprol jungkir balik guling-guling bahagia senang suka-cita ria gembira selamanya senantiasa.
Menyebut ‘Pahlawan Kafir’ dari perspektif pribadi Dwi Estiningsih memang benar. Dwi Estiningsih memang sangat memahami Islam sebagai doktrin dengan harga mati. Pernyataan Dwi Estiningsih ini semakin menempatkan konsep euphoria radikalisme tengah menemukan momentumnya – sekaligus pertaruhan bagi eksistensi keberagaman alias pluralisme NKRI.
Menarik sekali pernyataan Dwi Estiningsih ini jika dikaitkan dengan isi Piagam Madinah yang mengatur hubungan antar umat beragama di Madinah pada zaman Rasullullah SAW dengan kehidupan pluralisme Indonesia dalam NKRI.
Bagi Dwi Estiningsih kebenaran adalah kebebasan berbicara dengan mengafirkan orang selain Islam – termasuk para pahlawan yang bukan Islam. Maka ketika seorang pahlawan kebetulan bukan beragama Islam – maka pahlawan tersebut mendapatkan dan digelari pahlawan kafir. Perspektif seperti ini tampak sederhana – namun jika ditilik memiliki makna yang hakiki dan memiliki kebenaran dogmatis-religius.
Dwi Estiningsih menyampaikan pernyataan dan penilaian tentang pahlawan kafir sesuai pemahaman jumud, sempit, dan taklid di luar konteks sebagai warga Negara Indonesia. Peran Dwi Estiningsih dalam pernyataannya adalah perspektif sempit pemahaman keagamaan – yang di-claim oleh Dwi sesuai dengan Al Qur’an.
Bahwa benar Al Qur’an menyebutkan tentang kafir, mukmin, muslim, Yahudi, Nasrani, Majusi alias Zoroaster. Al Qur’an memaparkan kalimat, peristiwa, sejarah, kisah, konsep, ideologi agama Islam, dan segala kejadian yang bertujuan untuk memberikan pemahaman iman Islam untuk tujuan rahmatan lil alamin yang sejalan menempatkan Islam sebagai ideologi damai – salamIslam.
Konteks hablum minannas (hubungan sesama manusia) dan hablum minallah (hubungan dengan Allah SWT) secara nyata tercantum dalam Piagam Madinah. Hak-hak dan kewajiban antar umat beragama disebut secara jelas dan hak untuk menganut agama Yahudi, serta keyakinan lain, dan Islam di antara warga negara di Madinah dihargai secara sama dan tidak dibedakan.
Dari Al Qur’an yang menyebut eksistensi kafir, Yahudi, Nasrani, Majusi alias Zoroaster dan agama-agama lainnya serta keyakinan lain menunjukkan adanya sunnatullah – hukum Allah, hukum alam, bahwa eksistensi agama-agama disebut dalam Al Qur’an. Bahkan Al Qur’an pun menyebut tentang lakum dinnukum waliyaddin: bagiku agamaku, bagimu agamamu.
Fungsi Al Qur’an sebagai pegangan dan petunjuk berlaku selamanya sampai akhir zaman dan semua ketentuan berlaku tanpa revisi dan memiliki kebenaran abadi. Maka pernyataan adanya toleransi tentang eksistensi agama-agama pun dijamin akan tetap ada sepanjang zaman dan dijamin oleh Al Qur’an dan Allah SWT.
Konteks kafir menurut Al Qur’an bisa memiliki makna kufur al-ni`mah alias kufur nikmat Al Baqarah: 152,  kufur at-tabarri alias melepaskan diri Al Mumtahanah: 4, kufur al-juhud berarti mengingkari sesuatu dalam Al Baqarah: 89, kufur at-taghtiyah bermakna menanam atau mengubur sesuatu Al Hadid: 20, dan kufur at-tauhid yakni menolak tauhid dalam Al Baqarah: 6.