[caption caption="Aburizal Bakrie menuju akhir kematian politik I Sumber Tribunnews.com"][/caption]Kisruh perebutan Golkar semakin menarik untuk disimak. Ical alias ARB alias Aburizal Bakrie menolak Munas. Kubu Agung Laksono mendukung Munas hasil keputusan Mahkamah Partai Golkar pimpinan Muladi. ARB berdalih sudah memiliki Mahkamah Partai pimpinan Aziz Sjamsuddin. Maka keputusan Muladi dianggap bertentangan dengan hukum dan sudah selesai masa baktinya akhir 2015. Yang menarik, mari kita telaah sikap ARB dan Agung berakibat terjadi kekisruhan yang menggambarkan perang di dalam benteng terkunci yang tengah terbakar yang akan berakhir dengan abu untuk dua kubu dengan hati gembira riang ria suka-cita bahagia pesta-pora menari menyanyi menonton menertawai kisruh Golkar selamanya senantiasa.
Kisruh Golkar dipicu oleh tiga faktor. Faktor utama adalah (1) kepemimpinan Ical yang dinilai gagal, karena (2) hakikat kebiasaan Golkar yang selalu berada di pemerintahan dan berkuasa, (3) percampuran dan pemakaian Golkar sebagai alat politik dan dagang oleh picu yang memecah kepentingan berbagai kelompok di Golkar yang gagal dikelola oleh Ical.
Faktor pertama, kegagalan Ical adalah (1) suara Golkar yang merosot, (2) Golkar sebagai pemenang kedua Pileg gagal mengajukan capres maupun cawapres, (3) Golkar menjadi budak partai lain yang lebih kecil, (4) Golkar gagal menjadi partai di parlemen maupun di pemerintahan, dan (5) perpecahan Golkar yang akut dengan Agung Laksono dan Ical sebagai dua pentolan mengaku sah memiliki Golkar.
Faktor kedua, Golkar sebagai partai yang haus kekuasaan di pemerintahan menjadikan para kader Golkar kehilangan greget. Posisi sebagai oposisi di parlemen secara ekonomi dan kue pembangunan tidak menguntungkan bagi kader Golkar.
Faktor ketiga, sebagai akibat dari dua faktor di atas, adalah Golkar gagal menjadi kartel kepentingan bisnis dan politik di bawah kepemimpinan Ical. Dengan kondisi seperti ini Golkar sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apapun dalam perannya sebagai partai oposisi yang dipimpin oleh partai gurem Gerindra milik Prabowo. Akibat kepempinan lemah Ical maka Golkar kehilangan jati diri sebagai partai besar dan mengekor tanpa memiliki kekuasaan.
Peran sebagai partai oposisi dalam koalisi Prabowo yang dijanjikan sebagai partai penekan pemerintah – dengan tujuan mengendalikan roda pemerintahan di luar kekuasaan gagal total. (Penyebabnya adalah perhitungan yang terlalu meremehkan kekuatan dan taktik politik Presiden Jokowi.) Akibatnya koalisi Prabowo rontok dan berantakan dan hanya menjadi kisah paguyuban menyisakan Gerindra dan partai agama PKS saja. Pada akhirnya Golkar hanya menjadi partai yang ambigu dan kehilangan jati diri.
Kini, Ical menolak Munas pimpinan Jusuf Kalla dan menganggap keputusan Muladi tidak sah. Sementara di kalangan Golkar jelas tengah terpecah. Di parlemen ada sekitar 20-22 orang anggota DPR menjadi pendukung Agung Laksono. Jelas Golkar memang terpecah.
Yang lebih runyam lagi adalah Ical menganggap kubunya sebagai kelanjutan pengurus sah Munas Riau, namun faktanya dari internal Golkar sendiri baik sebagian kubu Ical dan 100% Agung Laksono menyatakan saat ini Golkar tidak memiliki dasar hukum dan tidak memiliki pengurus yang sah sejak akhir 2015 berbarengan dengan berakhirnya masa kepengurusan Munas Riau.
Di tengah kisruh itu pemerintah, c.q. KemenhukHAM belum mengesahkan salah satu kubu sebelum Munas berlangsung yang menandai bersatunya Golkar. Ical menolak Munas karena dengan Munas dipastikan Ical akan lengser tersingkir berikut gerbong besarnya termasuk Setya Novanto.
Akibat berikutnya, dua Golkar yang berperang di dalam benteng terkunci yang tengah terbakar itu merembet ke DPR. Di DPR terjadi kisruh antar anggota DPR dari Golkar, saling tinju dan jotos secara politik tanpa terkendali. Nilai kepatutan dan kecerdasan politik Golkar hilang yang ada tergambarkan adalah perilaku Ical dan Setya Novanto serta kroninya yang semaunya sendiri dalam berebut kekuasaan: untuk kepentingan politik-hukum dengan tujuan kepentingan ekonomi Novanto (kasus Papa Minta Saham) dan Ical (Lumpur Lapindo dan aneka pajak masa lalu) – jadi klop ngawurnya. Tanpa kekuatan politik mereka akan terjungkal. Kematian secara politik menunggu.
Nah, kini Golkar tengah kehilangan pendukung setia bernama Muhammad Riza Chalid – teman Setya Novanto. Saat ini segala daya tengah digalang – dengan kekuatan ekonomi, politik, kekuasaan, lobi – untuk menyelamatkan Ical, bukan Golkar. Keselamatan Ical menjadi jaminan kekuatan Setya Novanto dalam perang menghadapi Kejaksaan Agung dalam kasus Papa Minta Saham yang melibatkan Setya Novanto dan mafia migas dan Petral Riza Chalid.