Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dolly Dibuka Kembali, Risma Harusnya Belajar dari Saritem

24 Juni 2014   16:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:20 2889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dolly dibuka kembali dengan Upacara Bendera Kemerdekaan oleh ratusan PSK (pekerja seks komersial) di lokalisasi yang baru saja ditutup oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Dibukanya kembali Dolly dan Jarak oleh para PSK, mucikari, germo, preman, pimp, merupakan perlawanan yang tak sekedar kenekatan. Ada beberapa aspek yang luput diperhatikan yakni terkait perencanaan dan pemahaman sosio-kulturan Risma yang patut mendapatkan perhatian. Risma seharusnya belajar dari penanganan lokalisasi Saritem di Bandung.

Risma, perempuan Walikota Surabaya memang fenomenal. Langkah-langkah praktis, cerdas, dan berani dalam membenahi Kota Surabaya mendapatkan appresiasi. Banyak hal yang sudah dilakukan termasuk pembenahan taman-taman, termasuk Taman Bungur telah berubah menjadi asri. Kebun binatang pun sedikit dibenahi, meski masih banyak yang mati dan bahkan harimau Sumatera juga kurus. Itu semua prestasi Tri Rismaharini. Melangkah jauh dari lingkungan, maka Tri masuk ke ranah sosial yang kompleks: lokalisasi alias tempat transaksi seksual yakni Dolly dan Jarak. Ini sesuatu yang luar biasa yakni menutup lokalisasi. Akan tetapi, Risma tidak menghitung dampak rentetan akibat penutupan Dolly itu.


Ternyata Risma sesungguhnya tidak begitu memahami persoalan sosial terkait pelacuran. Pelacuran adalah kebutuhan simbiosis mutualisme bukan hanya pada diri PSK dan pelanggannya, namun juga lingkungan terkait kehidupan sosial-ekonomi lingkungan, kota dan desa.

Pelacuran - dan dalam wadah lokalisasi - adalah salah satu solusi untuk kehidupan. Pelacuran bukanlah sesuatu yang tidak disadari oleh para pelaku bisnis ini. PSK, germo, mucikari, petugas keamanan, lingkungan bukan tidak sadar akan risiko dan keuntungan bisnis ini. Mereka menyadari adanya ‘dosa', mereka menyadari adanya ‘tak patut', mereka tahu persis ‘risiko penyakit' menular. Mereka sadar betul akan konsekuensi pilihan ‘pekerjaan' dan bisnis esek-esek ini.

Kalau Risma hanya melihat satu sisi: dosa. Maka Risma tidaklah manusia yang bijaksana. Risma semestinya melihat lebih jauh lagi efek sosial terkait pelacuran. Risma mungkin tidak pernah tahu bahwa sebagian besar para PSK adalah para perempuan yang menghidupi keluarga mereka di kampung dan di kota tempat tinggal mereka. Data menunjukkan bahwa pelaku atau para PSK sebagian besar terjun ke dunia pelacuran karena ‘kemiskinan' akibat pendidikan yang kurang. Kemiskinan akibat lapangan kerja terbatas. Sangat sedikit PSK yang berasal dari strata sosial kelas menengah ke atas.

Maka Risma dalam menangani penutupan Dolly adalah bertindak gegabah dan sembrono. Risma tidak memerhitungkan efek sosial ekonomi tak hanya di lingkungan Dolly dan Jarak, namun jauh ke kampung dan kota asal para PSK. Lebih tepatnya para keluarga PSK. Ada PSK yang menghidupi anak-anak, orang tua yang sudah tak bisa bekerja. Mereka bergantung kepada pekerjaan PSK di Surabaya.

Namun, banyak yang tersisa yang belum beres - karena tunduk pada kepentingan orang kuat - yakni persoalan setelah ditutup mau apa dan bagaimana. Penutupan Dolly seharusnya belajar dari Saritem di Bandung. Di Bandung, Risma bisa belajar yakni mendirikan Islamic Center dan pondok pesantren di tengah-tengah Lokalisasi. Ini solusi tepat. Islamic Center berfungsi mengingatkan ‘akan dosa' baik bagi pelanggan maupun PKS. Pelanggan dan PSK diberikan kesempatan untuk ‘berpikir' dan melakukan tobat jika itu yang diharapkan oleh Risma.

Saritem dengan Islamic Centernya merupakan kompromi antara dosa dan surga yang dijanjikan. Siapapun boleh memilih mana yang diinginkan. Dalam hidup tidaklah hitam-putih. Ada warna abu-abu. Dan Risma tak bisa memaksakan kehendak dan keyakinannya dengan serta merta menutup Dolly dan Jarak, tanpa memerhitungkan dampak sosio-ekonomi dan kultural.

Penutupan Dolly dan Jarak hanya akan menyebarkan para PSK ke kota penyangga seperti Malang, Batu, dan kota-kota lain. Selain itu, sebenarnya pelacuran kelas atas yang lebih kejam harus dibenahi oleh Risma sebelum menutup Dolly dan jarak sebagai lokalisasi kelas menangah ke bawah.

Belum lagi Risma lambat mengantisipasi dan solusi uanng Rp 5 juta dan ketrampilan jahit-menjahit bukanlah hal yang menarik yang bisa menghidupi para PSK. Kenapa? Impor pakaian jadi murah asal Tiongkok telah menghancurkan industri tekstil dan pakaian jadi. Lalu penjahit bukanlah profesi yang bisa dilakukan oleh siapa saja: termasuk Risma belum tentu bisa menjahit.

Jadi, pembukaan kembali lokalisasi Dolly dan Jarak tak hanya merupakan perlawanan para PSK, mucikari, germo, aparat keamanan, centeng, pada Risma, namun sesungguhnya menunjukkan tindakan Risma yang gegabah dan sembrono tanpa memerhitungkan dampak sosial, ekonomi PSK dan lingkungan serta lingkungan lebih besar. Jika urusannya tentang dosa, maka Saritem adalah kompromi terbaik dalam melakukan ‘amar makruf nahi mungkar' dan ada juga yang melakukan ‘amar mungkar nahi makruf'. Itu alamiah dan sunnatullah di Dunia.

Salam bahagia ala saya.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun