Ingat Cicak dan Buaya? Ingat Chandra Hamzah? Kini cicak itu - yang dulu dibela oleh jutaan manusia Indonesia - kini mengikuti jejak Adnan Buyung Nasution membela para koruptor. Nama koruptor yang dibela oleh Adnan Buyung adalah Tulek Wawan adik Gubernur Banten dan Ratu Atut sang gubernur. Yang dibela oleh Chandra Hamzah adalah koruptor kelas berat yakni Mohammad Bahlawan, direktur operasional PT Mapna Indonesia. Fenomena apakah ini dan bagaimana KPK menjelma menjadi hanya sekedar tempat bekerja dan kehilangan idealismenya sebagai lembaga anti rasuah paling dipercaya rakyat?
Mohammad Bahalwan melakukan korupsi bernilai tender Rp 554 miliar yang diadendum yang melampaui Harga Perkiraan Sendiri senilai Rp 527 muliar. Memang nilai yang dibela oleh Chandra Hamzah tidak sebesar nilai korupsi Dinasti Ratu Atut senilai triliun rupiah. Namun demikian, terlibatnya mantan pendekar penentang korupsi memilih membela koruptor menjadi catatan yang sangat unik. Memang namanya pengacara boleh sesuai dengan undang-undang membela koruptor atau tidak membela koruptor.
Terlibatnya orang hebat seperti Adnan Buyung membela koruptor sungguh menjadi fenomena aneh. Pendekar demokrasi dan panutan hukum di Indonesia itu telah kehilangan idealismenya dan menyembah kepentingan pekerjaan: membela yang bayar. Adnan Buyung telah mengedepankan hak para koruptor dibela secara hukum dan di depan hukum. Tapi Bang Buyung lupa satu hal: hukum progresif yang diperjuangkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo terkait keadilan di dalam masyarakat yang berakar dalam budaya dan tradisi agama tidak menjadi pertimbangan. Kini, kita justru menonton tontonan yang lebih hebat: Chandra Hamzah membela koruptor. Fenomena apakah ini?
Dalam ilmu sosiologi politik dan hukum, keterkaitan antara kebenaran dan ketidakbenaran hanya dilihat dari pasal per pasal. Hukum adalah alat jual beli kepentingan di Indonesia. Siapa yang kuat membayar, maka akan menguasai hukum di Indonesia. Nah, para koruptor dengan gagahnya memiliki para pembela para pengacara papan atas. Rakyat yang buta hukum melihat kenyataan: para pengacara dibayar oleh para koruptor untuk membela perbuatan sampah dan biadab para koruptor, yang uang bayarannya adalah hasil dari korupsi.
Padahal jelas sekali bahwa sumber uang haram jika disalurkan ke mana pun akan menghasilkan uang haram. Itulah sebabnya maka ada UU anti Pencucian Uang. Dasarnya adalah setiap rupiah yang sumber pendapatannya tidak jelas akan ditelusuri. Maka ketika para (tersangka dan) koruptor melakukan pencucian uang, seperti Luthfi Hasan Ishaaq, Tulek Wawan, Ratu Atut, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Ahmad Fathanah, Djoko Susilo, Gayus, M. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan sebagianya, menjadi sesuatu yang dianggap dan tampak wajar karena dibela oleh pengacara senior dan hebat. Ada anggapan bahwa para koruptor memiliki hak untuk dibela korupsinya.
Padahal koruptor sebenarnya bukan golongan manusia dan tak pantas dibela dan diadili sebagai manusia di depan hukum. Korupsi adalah high profile and extra-ordinary crimes yang harus diperangi bersama dengan antara lain bukan hanya hukuman secara hukum biasa namun hukuman luar biasa seperti pemiskinan, pengucilan anak, istri, dari masyarakat. Alih-alih itu terjadi. Justru koruptor menjadi pekerjaan untuk merampok uang negara dan memiskinkan rakyat yang ternyata dibela dan dihormati secara hukum.
Kini, keadaan makin rancu. Dengan Chandra Hamzah mantan petinggi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membela koruptor, maka menjadikan KPK hanya sebagai tempat bekerja dan bukan lembaga anti rasuah yang memiliki idealisme tinggi bagi yang ada dan pernah ada di dalam institusi KPK. Dalam kasus Chandra Hamzah yang membela koruptor, maka ini menjadi bukti bahwa di Indonesia, hukum pragmatism uang fulus duit doi hepeng adalah tuhan dan dewa bagi para pengacara yang membela koruptor: uang adalah segalanya. Moralitas bejat para koruptor pun tak menjadi pertimbangan para pengacara. Pantas Indonesia adalah tanah dan negara subur korupsi. Bahkan Chandra Hamzah, mantan petinggi KPK, pun dengan bangganya membela koruptor.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H