Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok, DPRD DKI, Muawiyah dalam Dendam Politik Psiko-religi-kultural untuk Kekuasaan Ekonomi

14 November 2014   15:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:50 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak tahu malu. Sangat menggelikan. Kisruh itu menggambarkan alasan yang disembunyikan terkaut psiko-religi-kultural mirip zaman Muawiyah. Juga, kisruh terus-menerus antara DPRD DKI melawan Ahok mewujudkan dan menunjukkan dendam politik telanjang di mata rakyat. Selain itu, keserakahan akan kekuasaan telah menyebabkan hukum dan peraturan ditafsirkan sendiri-sendiri. Namun, dari semua sebab itu adalah adanya dendam dan kerakuasan akan kekuasaan yang menggelikan dengan menafsirkan hukum dan UU sesuai dengan selera mereka. Dua penyebab yang nyata telanjang rakyat melihat: kekalahan Prabowo atas Jokowi dan keluarnya Ahok dari Gerindra. Apa hakikat di balik upaya DPRD DKI menolak Ahok dalam balutan dendam secara psiko-religi-kultural zaman Muawiyah? Mari kita telaah dengan hati gembira ria.

Terdapat tiga penyebab mendasar kekisruhan perebutan kekuasaan di DKI Jakarta dengan menolak Ahok sebagai pemimpin di DKI.

Pertama, penyebab psiko-religi-kultural. Secara psikologi, para anggota DPRD DKI yang menolak Ahok diluputi oleh kondisi mental yang sangat tidak umum: mencari-cari alasan hukum dan UU untuk menutupi keyakinan psiko-religi-kultural yang menghinggapi mereka.

Adalah Lulung - sanga penguasa lanjutan di Tenabang yang tergerus kekuasaannya - yang menjadi motor yang dihinggapi perasaan kalah secara psikologi terhadap Ahok. Di mata Lulung, Ahok hanyalah seorang kecil, minoritas dari antah berantah yang tiba-tiba menjadi penguasa DKI. Secara psikologi kekuasaan - jika seseorang dihinggapi megalomania - maka tolakan dalam jiwa dan rasa tak mau menerima ‘kekalahan' dari orang kecil Ahok tak bisa dibendung.

Selain Lulung ada pentolan mantan narapidana dan koruptor: Muhammad Taufik - sandangan nama yang menunjukkan kebesaran dan kecermelangan: nama Muhammad Taufik yang hebat dibawa-bawa sebagai unjuk yang bisa dipercaya (al amin) dan yang bisa memberi petunjuk (taufiq dan hidayah). Ahok di mata Taufik adalah dari kelompok jauh dari negeri tak jelas. Di mata Taufik yang sempurna adalah Prabowo. Nah, kebetulan Ahok keluar dari Gerindra yang menyakiti junjungan M Taufik. Maka, demi menunjukkan loyalitasnya, M Taufik sampai tak mau memasang foto Presiden Jokowi-JK dan memasang foto ‘Presiden Prabowo'. Sesuatu masalah psikologi yang mengganggu sebenarnya.

Kondisi psikologis Lulung dan Taufik ini secara religi juga dipengaruhi keyakinan yang mirip FPI terkait pemimpin kamu harus orang seagama. Fakta dukungan FPI menjadi motor dan obor kebenaran bagi Lulung dan Taufik. Maka mereka berdua all out untuk mencari segala cara baik hukum maupun politik untuk menjungkalkan Ahok. Padahal yang disebut amirul mukminin dalam konteks umara bukan dalam konteks local. Agama Islam dan agama apapun tak pernah mengajarkan seseorang penganutnya untuk membenci penganut agama lain dan etnis lain secara peradaban dan kultural.

Hakikat manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal. Eksistensi perbedaan agama, budaya, etnis, secara jelas diabadikan dalam ayat-ayat Al Qur'an dan dikisahkan dalam kehidupan masyarakat madani di Madinah saat Nabi Muhaammad menghargai pemeluk Yahudi, Kristen, Majusi, Islam hidup berdampingan secara damai. Baru setelah Muhammad SAW wafat gereja, sinagog, kuil dibongkar dan warga non muslim diusir dari Madinah - semua akibat politik zaman Muawiyah yang diliputi oleh dendam kesumat politik dan ekonomi terhadap warga minoritas yang di zaman Rasullullah SAW masih hidup ‘dianggap dianak-emaskan' padahal hanya mereka dilindungi.

Secara kultural dan etnisitas minoritas Ahok pun menjadi sebab keirian berkembang dalam jiwa Lulung dan Taufik. Maka dengan segala cara - seperti rezim Muawiyah pasca Rasulullah SAW mangkat - mereka akan menghentikan Ahok untuk berkuasa karena ketidakrelaan minoritas menjadi Gubernur DKI Jakarta. Rasa lebih tinggi dan lebih hebat di kalangan mayoritas yang semu telah menyebabkan mata hati, mata jiwa, dan mata nurani tertutup dan menganggap diri paling benar. Maka UU pun diputarbalikkan sedemikian rupa untuk menutupi sifat dan sikap sesungguhnya yang tersimpan di dalam jiwa mereka.

Kedua, Ahok sebagai alat pelampiasan dendam akan kekalalahan pilpres. Dendam atas kekalahan mantan Jenderal Prabowo dan kemenangan tukang mebel Jokowi dan naiknya minoritas anak kemarin Ahok. Akumulasi kekalahan yang dialami tuan Prabowo yakni sebagai capres, kemenangan orang desa tukang mebel, dan naiknya minoritas Ahok dianggap sebagai kekalahan telak oleh koalisi Prabowo di DPRD DKI.

Rasa tak mau menerima kekalahan dan cara pandang merendahkan orang lain yang dimiliki oleh koalisi Prabowo tetap bersemayam dan terus hidup. Rasa tak menerima kekalahan dari orang yang dianggap ‘harkat dan martabat lebih rendah' dan lebih tinggi yakni Prabowo kasta tertinggi, Jokowi dan Ahok kasta lainnya, dan diri koalisi Prabowo yang sempurna di mata mereka menyebabkan memandang sebelah mata dan Ahok dijadikan santapan target pelampiasan dendam.

Ketiga, tabiat ketua partai politik yang dari sononya memang buruk. Politik sebagai kekuasaan dan politik menghalalkan segala cara untuk pembagian kua kekuasan dan kekayaan menjadi tujuan. Prabowo yang kalah dan ditambah dengan keluarnya Ahok dari Gerindra adalah bentuk penghinaan bagi yang dipertuan agung para ketua partai. Solidaritas alias main keroyok antar partai-partai koalisi Prabowo yang dikomandoi oleh Prabowo dengan kaki tangannya koruptor Muhammad Taufik dan Lulung diwujudkan dalam bentuk menggagalkan Ahok dari menjadi Gubernur DKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun