[caption caption="Ahok I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]
Sejarah Indonesia adalah sejarah para presiden. Rakyat hanyalah penggembira, kita cuma ikut kereta panjang, dan bahkan jelata tak mendapatkan apa-apa alias sia-sia.Sejarah dunia adalah sejarah pemimpin dan raja, ratu, kaisar dari Mesir, Persia, Romawi, Tiongkok, India, dan Maya. Maka timbul pertanyaan atas pernyataan. Karena takdir dan kebutuhan zaman maka lahirlah pemimpin. Benarkah? Benarkah Bung Karno dan eyang saya Presiden Soeharto terlahir sebagai Presiden RI karena takdir dan zaman yang menghendaki? Apa iya Ibu Megawati dan Gus Dur menjadi presiden karena tuntutan zaman dan garis tangan? Betulkah Presiden Jokowi dan lainnya juga karena garis tangan dan tuntutan zaman? Ini isu menarik yang harus dicari jawab.Â
Mari kita tengok tulisan pesanan Bung ranu vitalis tentang bahwa kelahiran seorang pemimpin, raja, ratu, dan presiden adalah karena tuntutan pemenuhan takdir dan zaman yang berbeda dengan hati riang gembira pesta-pora senang sentosa bahagia menari menyanyi selamanya senantiasa.
Presiden Bung Karno sejak kelahirannya adalah gambaran Indonesia. Eyang saya Presiden Soeharto kisah hidupnya adalah gambaran kebutuhan Indonesia. Presiden Habibie terlahir sebagai seorang demokrat sejati dengan wawasan luas yang jarang lahir di Indonesia. Presiden Gus Dur, Presiden Megawati sampai Presiden Jokowi pun memiliki karakteristik takdir dan tuntutan zaman yang tak bisa diubah dan dikendalikan.
Bung Karno. Presiden Bung Karno dilahirkan sejak awal menjadi pemimpin karena suratan takdir pula. Takdir membawa Bung Karno menjadi Presiden RI. Pada zaman itu banyak pemimpin besar seperti Sjahrir, Muhammad Roem, Hatta, Semaun, Tan Malaka, Leimena, Muhammad Natsir, dan sebagainya. Namun ada kharisma yang membuat Bung Karno berbeda. Tuntutan zaman dan fleksibilitas politik dan ideologi pluralis Bung Karno dan para pemimpin saat itu – yang akhirnya menginspirasi Bung Karno melahirkan Pancasila –menjadi peletak dasar terbentuknya Indonesia. Itu pula yang membawa Bung Karno nanti menjadi penyelamat revolusi Indonesia. Bahkan konstitusi UUD 45 dan di dalamnya ada Pancasila – juga dijiwai oleh kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Bung Karno sebagai peletak dasar revolusi pas pada tempatnya. Bung Karno sebagai sang demokrat memberikan kesempatan berlakunya Kabinet Parlementer RI. Sampai pada titik ketidaksesuaian dan Bung Karno sebagai seorang revolusioner – dengan kharismanya – menjadi penyelamat: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembali ke UUD 45, dengan catatan menghapus 7 kata dalam pembukaan UUD 45. Bung Karno sang visioner sudah tahu bahwa di kemudian hari 7 kata itu akan menjadi masalah dan benar. (Bahkan Yusril Ihza Mahendra dengan gempita mengangkat isu mengembalikan 7 kata dalam kampanye partai PBB.)
Tanpa Bung Karno, dengan Pancasilanya, Indonesia sudah akan menjadi bagian dari Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, atau Yaman yang berantakan. Visi Bung Karno kembali ke UUD 45 – setelah Dewan Konstituante gagal menyusun UUD selama bertahun-tahun – adalah langkah penyelamatan. Tanpa Bung Karno sebagai pemimpin pada zamannya, maka Indonesia saat ini adalah Arab Saudi saat ini. Bung Karno pun terlalu mencintai rakyatnya, hingga ketika diasingkan di Wisma Yasa sampai meninggal dunia, Bung Karno diam untuk menghindari pertumpahan darah.
(Maka yang menjadi Presiden RI 1 adalah Bung Karno karena zaman dan takdir memintanya. Bukan Sjahrir, Muhammad Roem, Hatta, Semaun, Tan Malaka, Leimena, Muhammad Natsir, yang menjadi Presiden RI.)
Eyang saya Presiden Soeharto. Presiden Soeharto adalah presiden yang tepat waktu dibutuhkan oleh zaman. Eyang saya Presiden Soeharto adalah juga anak didik Bung Karno nomor dua setelah Putra Mahkota Jenderal Ahmad Yani. Keluwesan komunikasi dan wajah tampan eyang saya Presiden Soeharto membuat karir militernya cemerlang. Letkol Soeharto pra-dan-pasca Gestapu (Gerakan September 30, memimjam istilah Bung Karno) tergambar memiliki kebesaran setara dengan Ahmad Yani, AH Nasution, dan Letkol Untung dan Soebandrio.
Dengan kelihaian luar biasa dan dengan korban nyawa hampir 1 juta rakyat yang terkompori isu komunis, atheist, yang dijalankan oleh supervise dan keterlibatan Sarwo Edhie Wibowo, maka dengan pemelintiran dan ide foto kopi Supersemar, eyang saya Presiden Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Dan takdir tak dapat ditolak. Eyang saya Presiden Soeharto menyingkirkan Presiden Bung Karno dengan cara yang sopan, halus, cerdas dan elegan: tidak tampak sama sekali coup d’etat.
Takdir yang tercipta dan kebutuhan zaman saat itu adalah (1) kecenderungan pilihan Blok Barat dan Blok Timur, (2) kapitalisme dan komunisme. Nah, eyang saya Presiden Soeharto sebelum menjadi presiden secara resmi telah bermain mata dengan kapitalisme dengan kali pertama memasukkan PT Freeport McMoran menguasai tambang emas di Papua – Irian Barat, sebagai kompensasi dukungan AS dan NATO kepada Indonesia.