Tak henti-hentinya debat antara Kivlan Zein dan Jenderal Luhut Pandjaitan. Debat saling serang antara sesama anggota TNI sangat menarik. Kivlan Zein sebagai orang biasa melawan Menkopolhukam yang lebih berpengaruh, hanya menjadi panggung politik dan dimanfaatkan oleh misalnya FPI. Yang menarik justru kontroversi tentang PKI dan Gestapu tidak menimbulkan reaksi berlebihan dari Presiden Jokowi. Presiden Jokowi membiarkan wacana tentang komunis berkembang di antara orang kepercayaannya, yakni Menkopolhukam Jenderal Luhut Pandjaitan dengan Kivlan Zein.
Mari kita telaah posisi, cara pandang, dan enam kecenderungan sikap Presiden Jokowi terkait dengan peristiawa G30S/PKI 1965 dan upaya penggiringan opini dengan hati gembira ria riang senang bahagia suka-cita menari menyanyi dansa jungkir balik koprol guling-guling ngakak menonton debat kusir ala jenderal sebagai sisa Pilpres 2014 yang gagal di-move-on-kan oleh diri mereka sendiri selamanya senantiasa.
Pertama, polemik tentang G30S telah berlangsung 30 tahun dan selalu menjadi isu panas. Isu komunis selalu dijadikan alasan untuk memojokkan pihak-pihak yang menjadi target politik dan kepentingan tertentu.
Contoh, eyang saya Presiden Soeharto menyerang Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bahkan memenjarakan Budiman Sudjatmiko, di samping menggemborkan isu bahaya laten komunis dan PKI.
Contoh lainnya, bahkan dalam kampanye pilpres 2014 tuduhan tentang PKI dan sebagainya melayang ke mana-mana dengan tujuan pendiskreditan terhadap capres Jokowi yang disebut berafiliasi dengan PKI – suatu kampanye hitam legam yang tak bertanggung jawab. Capres Jokowi tidak menanggapi kampanye kotor itu.
Kedua, peristiwa G30/S PKI dan korban sekitar sejuta orang yang dituduh atau memang anggota PKI adalah peristiwa sejarah yang terkait dengan konflik vertikal dan horizontal yang tidak hitam-putih. Di samping peristiwa pembantaian terhadap para anggota PKI dan pendukungnya terjadi pula pembunuhan sebagai perlawanan para orang PKI terhadap penumpasnya.
Keterangan salah satu pensiunan jaksa di Salatiga, yang bulan lalu penulis wawancarai, yang menangani kasus pengadilan kilat 1966 terhadap tertuduh komunis menyebutkan situasi pada saat itu penuh ketidakpastian dan chaos secara hukum, politik, moral, dan sosial.
Ketiga, Presiden Jokowi sangat memahami isu belakangan tentang PKI sebagai jebakan politik. Isu permintaan maaf kepada korban PKI dan upaya mendorong Pemerintah RI, c.q. Presiden Jokowi, adalah upaya untuk secara spesifik meminta maaf kepada para korban Gestapu, sejatinya adalah upaya menjerumuskan pemerintahan demokratis sipil Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, setelah Gus Dur dengan tegas meminta maaf atas keterlibatan warga Nahdliyin dalam peristiwa pembantaian G30S, sebagia warga negara dan bangsa sebagai upaya rekonsiliasi antar sesama manusia.
Presiden Jokowi didorong oleh beberapa orgnisasi LSM yang memiliki agenda dan dukungan dana dari Barat, untuk meminta maaf kepada korban G30S PKI. Permintaan dan dorongan ini memiliki motif lanjutan yakni (1) menyalahkan TNI dan para ormas yang membantu TNI sebagai pembasmi konflik horizontal dan vertikal Gestapu itu.
Lalu (2) meminta kompensasi dan pengadilan rekonsiliasi dan kebenaran yang jelas akan memojokkan pemerintah sekarang dan pemerintah Orde Baru pimpinan eyang saya Presiden Soeharto.
Dan, (3) tentu menjadikan permintaan maaf itu sebagai legitimasi pembuktian isu Presiden Jokowi dikampanyehitamkan sebagai terkait dengan PKI – suatu tuduhan yang keji secara politik, hukum, sosial, dan relijius yang tidak ditanggapi oleh Presiden Jokowi.