Namun kekuatan anti radikal dengan cepat menghindarkan Raja Salman untuk bertemu dengan Rizieq FPI dalam forum resmi di antara tokoh-tokoh Islam Indonesia. Kompromi politik pun dilakukan dengan mengarahkan hiburan bagi Rizieq FPI dan kawan-kawan untuk menonton Raja Salman di DPR – hanya menonton di balkon atau tempat lain tanpa ada dialog.
Untuk penghiburan bagi Rizieq FPI dan kawan-kawan DPR memberikan kesempatan kepada Rizieq FPI dan kawan-kawan ikut menonton Raja Salman. Pengaturan undangan DPR – bukan pemerintah RI dan Saudi Arabia – ini dirasa cukup untuk membuat bahagia simpatisan politik semacam Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang anti Ahok seperti halnya Rizieq FPI. Klop.
Maka kunjungan Raja Salman pun dijauhkan dari upaya kampanye radikal dan diarahkan hanya untuk kepentingan hubungan diplomatik, anti terorisme – dengan himbauan mencegah sumbangan dari individu dan organisasi dari Arab Saudi – yang bisa disalahgunakan untuk gerakan radikal di Indonesia.
Pun tujuan lain kunjungan Raja Salman adalah meningkatkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan kerjasama bilateral lainnya – yang jauh dari dimaknai dan ditunggangi oleh gerakan radikal di Indonesia. Untuk itu simbol gerakan radikal dienyahkan dan justru para tokoh dipilih untuk beraudiensi dan bertemu dengan Raja Salman. Untuk lebih menekankan pada hegemomi pemerintahan Presiden Jokowi, maka para tokoh agama non Islam pun diundang untuk bertemu dengan Raja Salman.
Dengan tidak bertemunya Rizieq FPI dengan Raja Salman, maka Rizieq FPI pun gagal mendapatkan momentum yang dapat digunakan untuk menyerang lebih dalam ke Ahok. Pun belitan hukum Rizieq FPI dalam minimal kasus penistaan atas Pancasila menjadikan posisi Rizieq FPI secara politik dan hukum lemah.
Teriakan-teriakan semangat dalam kasus Ahok lebih banyak unsur kepentingan pribadi antara Rizieq FPI terhadap Ahok yang memang sejak lama dimusuhi dan ditolak Rizieq dan FPI. Momentum kasus Ahok terkait fatwa MUI menjadi kuda tunggangan empuk bagi Rizieq FPI – namun dilawan dengan penyeimbangan hukum kasus penistaan atas Pancasila yang membelit Rizieq FPI.
Pun pemerintahan Presiden Jokowi menyadari pentingnya kunjungan Raja Salman bagi Indonesia – khususnya dalam penanganan terorisme dijadikan salah satu agenda kerjasama. Pun termasuk aliran dana dari Arab Saudi harus diarahkan untuk pendidikan yang rahmatan lil alamin dan bukan membangun gerakan radikalisme di Indonesia.
Maka dalam kasus perseteruan Rizieq FPI dengan Ahok, pemerintahan Presiden Jokowi menjauhkan perseteruan kasus Ahok dengan Rizieq FPI dari pendomplengan. Untuk itu dalam kunjungan Raja Salman ke Masjid Istiqlal pun Rizieq FPI tidak akan berada di sana karena Rizieq FPI tidak mewakili siapa pun dalam konteks kenegaraan kunjungan Raja Salman ke Masjid Istiqlal.
Upaya ini jelas menunjukkan determinasi pemerintahan Presiden Jokowi dalam mengendalikan kunjungan Raja Salman  sebagai kunjungan kenegaraan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan Arab Saudi. Dengan demikian kunjungan Raja Salman justru bagi Rizieq FPI – yang sangat anti Ahok – tidak bisa digunakan sebagai alat kampanye memusuhi Ahok.
Justru kunjungan ini menunjukkan hegemoni dan determinasi pemerintahan Presiden Jokowi dalam konstelasi dan konstestasi menghadapi radikalisme di Indonesia. Pun euphoria Rizieq FPI pun semakin melaun menyurut terlebih dia dalam belitan jerat hukum kasus penistaan terhadap Pancasila.
Ahlan wa Salam fil Indonesia King Salman. Selamat  di Indonesia datang Raja Salman.