Ketiga, SBY adalah sosok akan-akan-akan – tidak ada yang sudah dibangun – dalam 10 tahun di tampuk kekuasaan tanpa menghasilkan apapun untuk rakyat. Bahkan infrastruktur pun tidak dibangun. Tol mangkrak sejak zaman Megawati berlanjut dengan SBY ada di Pejagan-Brebes Timur sampai juga di Ciawi Sukabumi. Puluhan tahun mangkrak. Bendungan tidak dibangun padahal rakyat membutuhkan. Pelabuhan dan perikanan laut dibiarkan dicuri dan nelayan Indonesia dirugikan.
Sikap dan sifat SBY yang berideologi akan-akan-akan tanpa berbuat bertolak belakang dengan dengan ideologi Presiden Jokowi yang bekerja kerja dan kerja. Lalu buat apa menemui SBY?
Keempat, SBY adalah sosok megalomania politik dan tidak mikul duwur mendem jero. Megalomania politik SBY ditunjukkan dalam hubungan pribadi dengan Presiden ke-5 Megawati. Sampai detik ini hubungan antara SBY dengan Presiden ke-5 Megawati tidak terjalin. Perseteruan politik tak rasional selalu terjadi antara SBY dengan putri Bung Karno itu.
Maka di mana ada kesempatan untuk bersaing dengan Megawati, SBY akan lakukan seberapa besar risikonya. Contohnya, Agus sang perwira TNI cerdas brilian pun disuruh mundur oleh SBY demi maju ke panggung Pilkada DKI. Lagi-lagi untuk melawan Megawati yang mendukung Ahok. Maka maneuver berteriak-teriak soal Ahok pun tujuannya jelas untuk memuluskan anaknya si Agus untuk bersaing hanya dengan si bekas Menteri Pendidikan yang dipecat oleh Presiden Jokowi si Anies Baswedan.
Alasan mendorong Agus pun ditambah dengan perseteruan dengan Prabowo dan tidak akan membiarkan cagub dukungan Prabowo si keturunan Arab Anies Baswedan dan keturunan Gorontalo si culun politik Sandiaga berhasil menang. Klop. Bersaing dengan Megawati plus Prabowo adrealin SBY terpicu dengan korban perwira militer brilian Agus. Lalu buat apa menemui SBY?
Kelima, SBY adalah sosok melankolis dan peragu serta baper. Berbagai maneuver SBY ditujukan untuk kepentingan pribadinya. Bukti melankolisnya SBY adalah suka mengarang lagu meskipun lagunya fals dan sember kalau dinyanyikan. Bahkan saking melankolisnye SBY curhat masalah gajinya di depan ribuan prajurit yang uang lauk-pauknya saat itu cuma belasan ribu per bulan – terakhir uang lauk-pauk TNI dinaikkan di atas Rp 1 juta.
Lagi-lagi melankolisme dan gengsi tak bisa hilang dalam diri SBY sehingga sebagai orang lebih muda tak bersedia memulai upaya rekonsiliasi dengan Presiden ke-5 Megawati. Sikap besar rasa dan baper pribadi seperti ini dibawa dalam ranah politik. Melankolis.
Dalam politik, sikap ini diwujudkan dengan menjadi partai penyeimbang akibat pragmatism kebablasan. Partai Demokrat menjadi partai banci dan hanya di Indonesia ada partai penyeimbang – tidak berani oposisi dan tidak berani mendukung pemerintah. Mau bermain di dua kaki dan sok-sok-an gaya-gayaan.
Maka ketika partai Koalisi Prabowo rontok, partai penyeimbang itu limbung ambruk tak berbentuk lagi. Apa yang akan diseimbangkan dalam politik mayoritas pendukung Presiden Jokowi dan pemerintahannya? Tak ada lagi. Maka relevansi partai penyeimbang musnah berantakan tak berbentuk lagi. Lalu apa yang diharapkan oleh Presiden Jokowi kalau menemui SBY?
Keenam, SBY menelikung di lipatan. Contoh, SBY adalah inisiator dan penggagas Pilkada DPRD alias Kepala Daerah dipilih oleh DPRD I/II. SBY berpura-pura memenangkan untuk yang anti Pilkada oleh DPRD. Detik terakhir pemungutan suara di DPR – Demokrat berbalik arah sehingga kalangan penentang Pilkada oleh DPRD kalah.
Semua itu dilakukan oleh antek-antek politik SBY di DPR yang dikirimi SMS yakni si Nurhayati. Sikap menelikung seperti ini khas SBY. Lalu pelajaran apa yang dapat dipetik oleh Presiden Jokowi dari sikap politik seperti itu dari SBY untuk menemui SBY?