Dengan kapitalisme dan tangan besinya, menjadi benar dan cocok eyang saya Presiden Soeharto membawa idiom: pembangunan. Dan di balik KKN – yang eksesnya sampai sekarang masih tersisa – Indonesia berubah menjadi maju karena gaya kepemimpinan otoriter yang begitu hebat. Untuk pembangunan saat itu gaya tersebut tepat. Hingga keluar kelakar pengikut penyetia eyang saya Presiden Soeharto: “Piye kabare? Isih enak jamanku, to?” Itu wujud bawah sadar Presiden Soeharto dibutuhkan saat itu.
(Maka karena takdir dan zamannya yang menjadi Presiden RI pengganti Bung Karno bukan Jenderal Ahmad Yani, AH Nasution, bukan Bung Tomo, bukan pula Sarwo Edhie Wibowo, juga bukan Letkol Untung atau Dipa Nusantara Aidit yang lebih popular.)
Presiden BJ Habibie. BJ Habibie tepat menjadi takdir Indonesia karena sikap demokratis dan dewasa penuh pengalaman. Presiden BJ Habibie menyadari sepenuhnya, naiknya beliau menjadi Presiden RI sebagai presiden transisi – istilah yang diciptakan oleh Presiden BJ Habibie sendiri untuk meredam kebencian rakyat tentang kaitan Presiden BJ Habibie dengan Orde Baru eyang saya Presiden Soeharto. Cerdas. Matang. Ketika ditunjuk menjadi Wapres RI oleh eyang saya Presiden Soeharto pun BJ Habibie katakana sebaiknya dia konsentrasi sebagai Menristek saja. (Tak disangka penerimaan ini menjadi takdir yang membawanya menjadi Presiden RI ke-3.)
Bahkan saking realistisnya, Presiden BJ Habibie menawarkan saat itu kepada tokoh mencla-mencle Amien Rais untuk menjadi Presiden RI. Amien menolak karena mendapatkan jebakan frasa ‘presiden transisi’ yang diciptakan oleh Presiden BJ Habibie. Pun Presiden BJ Habibie memiliki kemampuan luar biasa dalam 2,5 tahun mampu menurunkan inflasi dan rupiah yang menembus Rp 17,000 bisa menguat sampai nilai Rp 6,400 – suatu pencapaian yang sampai 16 tahun ini tak bisa dicapai oleh beberapa presiden.
(Naiknya BJ Habibie sebagai presiden adalah takdir dan tuntutan zaman. Tak bisa dibayangkan jika yang berkuasa pada 1998 pasca eyang saya Presiden Soeharto, Amien Rais, atau Akbar Tandjung. Ketika kekuatan demokratis rakus di MPR yang memilih Gus Dur sebagai Presiden – yang seharusnya Megawati sebagai pemenang pemilu – Amien Rais menjegal Mega dan mendudukkan Presiden Gus Dur, yang akhirnya juga dijungkalkan oleh Amien Rais tanpa ampun dengan tuduhan menerima suap dari Sultan Brunei – hal yang tak pernah terbukti dan dibuktikan.)
Nah, Presiden Gus Dur. Meskipun singkat berkuasa, Presiden Gus Dur diperlukan saat itu untuk membongkar ketidakadilan mendasar terkait keyakinan, kepercayaan dan agama, serta suku. SARA. Presiden Gus Dur karena ada darah kiai maka Gus Dur-lah yang berani memutuskan bahwa Konghucu sebagai agama resmi Indonesia selain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha. Gus Dur pelatak dasar penghargaan atas semua bangsa dan ras di Indonesia – yang selanjutnya menjadi ideologi kesetaraan dan serba-rupa alias pluralisme yang didengungkan sampai sekarang. Itulah legacy tak ternilai penerapan Pancasila ala Gus Dur yang fenomenal.
Presiden Gus Dur tepat berbagi kekuasan dengan Presiden Megawati dalam kurun dan zaman 5 tahun. Tentang Presiden Megawati, legacy Presiden Megawati adalah upaya melakukan penyesuaian dan kompromi politik. Alam Megawati adalah alam represi dan oposisi yang mendarah daging. Maka ketika menjadi Presiden RI pun, Presiden Megawati lebih banyak mengakomodasi kepentingan dan penyesuaian masa transisi lanjutan dari Presiden Gus Dur dan Presiden BJ Habibie. (Sebagai tuntutan zaman dan takdir, sikap dan sifat kepemimpinan Presiden Megawati memberi tempat yang sama, dan alasan kesempatan sebagai takdir dan zaman kepada SBY yang memiliki karakter emosi sama, yang membedakan jenis kelaminnya dan kebangsawanannya saja.)
SBY selama 10 tahun ditakdirkan duduk di puncak kekuasaan. Naiknya SBY lebih kepada pencarian antagonis dari Presiden Megawati yang tidak cakap berbicara. Gaya, style, dan sikap, serta tampang tinggi besar, dianggap hebat setelah kesederhanaan Presiden Gus Dur dan Ibu Megawati menguasai alam bawah sadar rakyat. Rakyat memilih SBY sebagai bagian dari suratan takdir. Pola berbicara plastis, menarik, penuh pencitraan saat itu sangat diminati dan diinginkan oleh rakyat.
Rakyat pun pada kurun waktu 2004-2008 disuguhi gerak cepat kerja Wapres Jusuf Kalla, hingga pada 2008 terpilih kembali. Lagi-lagi ada sebab yakni Jusuf Kalla memberi jalan kepada SBY untuk kembali berkuasa dengan segala pencitraannya: dan rakyat menyukainya.
Lalu Presiden Jokowi. Zaman dan takdir menuliskan dengan tinta hitam dan emas. Karena SBY tidak melakukan apapun juga dalam masa 10 tahun berkuasa, dan kondisi zaman meminta orang yang antagonis dengan SBY. Rakyat yang selama 10 tahun diberi ‘akan akan akan’ kini menuntut bukti yang dikerjakan. Pun zaman menuntut orang itu sederhana dan tidak plastis serta dianggap jujur. Penyebabnya adalah rakyat disuguhi korupsi besar-besaran di tubuh rezim SBY seperti para menteri korup: Andi Mallarangeng, Jero Wacik, Suryadharma Ali, dan para pentolan partai pun korup. Rakyat menginginkan presiden yang mau memberantas korupsi dan berani melakukannya.
Pilihan ada dua: Jokowi atau Prabowo. Nah, celakanya – dan ini menjadi jalan sejarah dan keinginan zaman lalu menjadi takdir – Prabowo dikelilingi oleh para koruptor seperti Jero Wacik, Suryadharma Ali, juga si Lumpur Lapindo Ical, yang membuat Prabowo kehilangan suara. Takdir juga ditambah lagi dengan peran Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang menjadi sebab terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI.