Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Isu “Reshuffle”, Golkar Dukung Presiden Jokowi, Tiga Syarat dari Megawati, dan Lobi Jusuf Kalla

9 Januari 2016   08:41 Diperbarui: 9 Januari 2016   14:22 2637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]

Sesuai rancangan awal Oktober 2014, tujuan akhir konsolidasi politik adalah memasukkan Golkar sebagai partai pendukung pemerintah. Kedatangan akhir Golkar di tengah prahara internal – sebagai bagian konsolidasi eksternal menyingkirkan Ical – ke dalam partai pendukung pemerintah tepat waktu. Namun demikian masuknya Golkar setengah diangggap sebagai penumpang gelap – padahal sudah ada JK dan Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan sebagai kader Golkar. Untuk itu, atas koordinasi JK, LBP, dan Ibu Megawati, Golkar masuk ke barisan pendukung pemerintah seperti posisi PAN sekarang. Niat Golkar mendukung Presiden Jokowi pun dibarengi dengan isu reshuffle kabinet. Mari kita telaah isu reshuffle kabinet, posisi Presiden Jokowi, tiga syarat dari Ibu Megawati, dan strategi menjinakkan Golkar dengan tertawa bahagia ngakak melihat kericuhan Golkar suka-cita senang sentosa riang ria menari menyanyi berdansa selamanyanya senantiasa.

Untuk maneuver Golkar, Presiden Jokowi membiarkan Wapres Jusuf Kalla dan Jenderal Luhut Pandjaitan tetap bermanuver tanpa detail suruhan Presiden Jokowi. Hal ini penting dilakukan oleh Presiden Jokowi karena sifat dan sikap Jusuf Kalla terkenal dengan kemampuan untuk membalik-balikkan kata-kata yang cerdas dan bersayap-sayap.

Sejak awal, dalam mendukung Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla berfungsi ganda – menjadi orang dekat Ibu Megawati dan menjadi pelobi Golkar. Kondisi ini menjadi seimbang ketika Jenderal Luhut masuk ke dalam kabinet Presiden Jokowi. Posisi Presiden Jokowi semakin kuat untuk bermanuver dan mengatur kebijakan karena bempernya telah menguat secara politik.

Kekuatan politik Presiden Jokowi yang semakin menguat membuat berbagai langkah kebijakan konsolidasi politik diserahkan kepada Jusuf Kalla dan Jenderal Luhut Pandjaitan serta Pramono Anung – dengan menghargai Sekjen PDIP Hasto Kristianto tentunya.

Perkembangan terakhir Golkar yang secara hukum tanpa pengurus membuat Ical berbalik arah – mendukung Presiden Jokowi. Sikap Ical ini tidak konsisten dan dilakukan ketika kekuatan Ical tinggal 1%. Dipastikan Ical akan terhempas ke dalam lubang jeratan politik: lengser. Manuver Jusuf Kalla, BJ Habibie, Jenderal Luhut Pandjaitan, Akbar Tandjung, angkatan muda Golkar, semua mengarah kepada satu tujuan: Munas Golkar. Tujuannya cuma satu yakni menyingkirkan Aburizal Bakrie.

Makanya orang-orang dekat Ical seperti Nurdin Halid, menolak Munas karena sudah jelas, begitu Munas Golkar berlangsung, dengan legitimasi dari Mahkamah Partai, Ical dan kawan-kawan akan tersingkir. Itulah sebabnya orang kuat Golkar Yorrys Raweyai diam seribu bahasa dulu melihat kekuatan.

(Andainya Setya Novanto masih menjadi Ketua DPR dan memiliki kekuatan seperti dulu, serta Muhammad Riza Chalid masih bebas berkeliaran, soal memertahankan Ical sebagai Ketum Golkar sangat mungkin dilakukan yakni Riza Chalid menjadi cukong. Publik harus tahu bahwa mafia migas dan Petral Riza Chalid ini selalu menebarkan ‘kesempatan dan arahan dana’ bagi kepentingan politik, seperti contohnya menyebut menyumbang Rp 500 milyar ke kampanye Prabowo dan jelas membiayai Obor Rakyat. Dengan terbatasnya sepak terjang Riza Chalid, maka posisi Ical di ujung tanduk rusa belang kaki.)

Laporan Jusuf Kalla kepada Presiden ke-5 Megawati sangat jelas: Golkar sudah dalam kendali Jusuf Kalla  dan penyingkiran Ical tinggal menunggu Munas Golkar. Pun di parlemen Golkar sudah terpecah-belah akibat penyingkiran anasir SOKSI dari posisi Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Bagi Ibu Megawati, masuknya Golkar mendukung pemerintah dianggap lebih baik dibandingkan dengan PAN – di mana ada unsur Amien Rais yang cenderung plin-plan ‘esuk tempe sore dele’. Maka menjadi benar sikap Presiden Jokowi membiarkan PAN 4 bulan tanpa diberi kursi menteri. Hal yang diteriakkan soal reshuffle kabinet hanya sebatas wacana. Itu bukti kekuatan Presiden Jokowi dengan lingkarannya yang sudah konsolidatif. Maka pernyataan Presiden Jokowi pun jelas: “jangan mendikte saya.

Maka sesuai dengan kondisi politik real, Golkar masuk ke pemerintahan bukan barang baru. Jusuf Kalla dan Jenderal Luhut adalah orang Golkar. Untuk itu, Ibu Megawati berpesan – setelah Jusuf Kalla kulanuwun dan melaporkan – agar masuknya Golkar ke pemerintahan disertai dengan tiga syarat.

Ketiganya adalah (1) Ical harus hilang dari peredaran Ketum Golkar, (2) tidak ada syarat meminta-minta jatah menteri, apa posisi wakil presiden dan Menkopolhukam kurang bagi Golkar?, dan (3) pernyataan itu dilakukan setelah adanya Munas. (Pun jika Ical dan Nurdin Halid tidak mau mengadakan Munas, Golkar tanpa legalitas dan kondisi ini tengah dibangun delegitimasi Golkar di parlemen. Munas menjadi syarat keabsahan Golkar. Nah lho.)

(Plus bonusnya: Ibu Megawati dipastikan telah menegur melalui koordinasi Pramono Anung dan Tjahjo Kumolo serta Sekjen PDIP untuk tenang dan tidak kontra-produktif terkait Pansus Pelindo II yang kebablasan.)

Secara strategis, setelah bertemu dengan pakar hukum Saldi Isra, Refly Harun, dan Zainal Arifin, Presiden Jokowi menyampaikan secara keras dan tegas: soal reshuffle itu hak prerogative presiden. Ini disampaikan untuk (1) membungkam isu di luaran, (2) memberi pernyataan tegas kepada Pansus Pelindo II yang menginginkan Presiden Jokowi mengganti Menteri Rini Soemarno – suatu permintaan kebablasan dari Rieke Dyah Pitaloka dan Masinton Pasaribu yang tak paham hukum kenegaraan.

Jadi, kini sebagian besar trek konsolidasi politik telah mendekati dan boleh dikatakan rampung. Kegaduhan di luar Istana – atau bahkan di Istana – jika diperlukan dan dalam kendali dan arahan the Operators bukanlah masalah dalam strategi politik. Dan, Presiden Jokowi memahami hal ini dengan sangat baik – dengan melihat hasil Golkar dan PPP dan sekaligus membubarkan koalisi Prabowo yang tinggal duduk manis dengan partai agama PKS.

The bottom line-nya adalah masuknya Golkar ke pemerintahan (1) harus jelas, (2) Ical harus ical dan sirna setelah Munas Golkar sebagai legitimasi keberadaan Golkar, (3) tidak meminta-minta jatah menteri karena sudah ada wapres Jusuf Kalla dan Jenderal Luhut Pandjaitan di pemerintahan, plus (4) urusan reshuffle kabinet bukan urusan partai atau pun pansus namun urusan Presiden Jokowi yang telah memiliki ukuran dan memahami kepentingan dengan baik.

Salam bahagia ala saya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun