Kini, akibat dari perbedaan sikap antara Luhut Pandjaitan dan Jusuf Kalla, serta sikap menunggu Presiden Jokowi yang tengah memetakan seluruh kekuatan baik di dalam Istana maupun di DPR, (1) Setya Novanto mendapatkan angin segar untuk memenangi kisruh ini.
Lalu, (2) membuktikan bahwa Setya Novanto memang the unstoppable, mighty, dan untouchable yang bahkan (3) Luhut the General pun tak kuasa melawannya, dan (4) Presiden Jokowi serta Wapres Jusuf Kalla terjepit dalam genggaman orang kuat Setya Novanto kekuatan, kelihaian, kecerdasan, dan kekuatan yang tiada tanding dan tiada banding.
Yang paling menggelikan dan menyedihkan dampak pencatutan jika tidak dibawa dan diselesaikan ini adalah (5) nama baik Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla yang disebut dalam transkrip akan menyisakan pertanyaan tentang komitmen pemberantasan korupsi oleh Presiden Jokowi, serta (6) publik melihat Presiden Jokowi lemah dan kalah di depan orang terkuat di Indonesia yang unstoppable, mighty, and untouchable: Setya Novanto.
Akhir dari kegagalan melokalisasi kekuatan Setya Novanto adalah (7) Presiden Jokowi dianggap lemah dan tak berdaya, dan (8) pada kampanye 2018-2019 nanti rekaman transkrip itu akan digunakan dan dibelokkan bahwa pada 2015 apa yang ada di dalam rekaman itu benar semuanya oleh lawan politik, yang (9) disebut dalam transkrip itu benar dengan bukti Presiden Jokowi tidak bertindak melawan secara hukum meskipun masyarakat mendorong, (10) itu kerugian politik Presiden Jokowi.
Jadi, terkait perbedaan sikap antara Jusuf Kalla dan Luhut Pandjaitan, kini publik hanya menunggu sikap lanjutan yang tegas dari Presiden Jokowi yang akan menyelamatkan Presiden Jokowi. (Jika ada deal politik pun harus ada hal yang tampak di muka publik terkait penanganan pencatutan nama Presiden Jokowi ini. Demikian Ki Sabdopanditoratu.)
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H