Situs Liyangan sungguh spektakuler dari segi sejarah dan lokasi. Situs Liyangan hancur pada awal abad ke-10, sekitar 1,000 tahun lalu akibat letusan Gunung Sindoro. Mengunjungi situs Liyangan sangat berbeda dengan mengunjungi Trowulan. Situs Liyangan di Temanggung, Jawa Tengah masih memberikan kesempatan munculnya kejutan peradaban Mataram Kuno. Juga ancaman kehancuran. Mari kita telaah keindahan peradaban Mataram Kuno dari yang tersisa di Situs Liyangan dengan ulasan Ki Sabdopanditoratu dengan hati gembira suka cita senang sentosa riang ria bahagia selamanya senantiasa.
Situs Liyangan perlu diselamatkan oleh Presiden Jokowi. Kenapa? Situs Liyangan adalah sisa-sisa tanda peradaban Kerajaan Mataram Kuno. Jangan sampai kasus Trowulan hanya menyisakan situs di Museum Trowulan, sedangkan sesungguhnya Ibukota Majapahit itu sangat luas. Trowulan telah berhenti memberikan informasi karena lokasi bekas peradaban Majapahit telah dikuasai oleh penduduk.
Lain halnya, Situs Liyangan terletak di perladangan tembakau penduduk. Yang saat ini dikuasai oleh pengusaha pasir dan batu. Pemerintah masih bisa membebaskan lahan dan melakukan ekskavasi besar-besaran di wilayah yang sangat berpotensi memunculkan potret peradaban Mataram Kuno.
Dan memang, Situs Liyangan adalah jawaban terhadap pertanyaan tentang sisa Kerajaan Mataram Kuno yang tak pernah muncul selain disebut dalam berbagai kitab dan prasasti. Situs Liyangan dipastikan merupakan sisa kerajaan Mataram Kuno. Temuan situs Liyangan sangat menarik karena membuka awal tabir besar peradaban Kerajaan Mataram Kuno.
(Yang unik dari situs liyangan adalah semua candi menghadap ke selatan. Tidak seperti candi Dieng dan candi Gedongsongo yang menghadap ke semua penjuru: barat, timur, utara, dan selatan sesuai dengan kontor tanah tempat candi dibangun.) Kini kondisi Situs Liyangan sangat memrihatinkan. Sangat mengenaskan.
Situs Liyangan yang luas itu tergolek tak berdaya dikelilingi oleh perusahaan penggalian pasir dan batu dengan alat-alat berat eskavator dan pemecah batu. Situs Liyangan sekarang tengah diacak-acak dan digorok dengan seenaknya oleh perusahaan tambang pasir dan batu. Pemerintah tinggal diam dan tidak bertindak apapun untuk mencegah kehancuran situs Liyangan.
Begitu masuk ke lokasi, Ki Sabdopanditoratu sempat terkejut karena pada pukul 06:00, sudah ada kendaraan minibus milik pengusaha penggalian pasir. Beberapa orang tengah menggali tebing setinggi sekitar 15 meter berupa penggalian pasir. Lokasi penggalian pasir pun adalah ladang tembakau. Kegiatan menggorok dan menggali pasir itu lebih dominan dari upaya penggalian oleh Balai Suaka Purbakala Jawa Tengah atau pemerintah.
Tepat di lokasi terdekat dengan tempat parkir – yang dipenuhi oleh batuan split dan pasir dari situs – terdapat struktur candi yang paling bawah. Lokasi itu benar-benar dikuasai oleh galian pasir. Tidak menampakkan dominasi Desa Wisata. Sarana toilet untuk pengunjung pun belum tersedia. Pos Jaga – tanpa penjaga – pun berdiri ringkih menghadapi perusakan situs yang begitu masif. Persoalannya adalah tanah ladang itu menjadi milik penduduk yang dikuasai oleh pengusaha tambang galian C. Para penggali itu menggali pasir dan batu.
Ki Sabdopanditoratu melihat para penggali menghancurkan semua temuan yang disebut batu, yang ditemukan di bagian tertinggi di selatan bangunan terbesar di luar benteng. Pagi itu, penggali menemuan arang batu dari sisa pohon yang terbakar karena letusan gunung Sindoro pada masa lampau. Arang berwarna hitam kelam itu menjadi rezeki karena mudah dipecahkan. Segera batu itu dikumpulkan di dekat benteng pembatas lokasi Pusat Kerajaan tempat 5 candi pemujaan berada.
Situs Liyangan dengan temuan utama di Pelataran Barat, Pelataran Tengah, Pelataran Timur. Pelataran Timur memiliki candi tanpa pintu tangga, terletak pada kontur tanah terendah. Dipastikan candi di halaman ini memiliki tangga namun telah hilang karena tangga berundak terbuat dari kayu. Hal ini bisa dilihat dari sisa struktur batu tangga yang menghadap ke selatan. Pelataran Timur ini memiliki luasan wilayah yang selurus dengan benteng dan batas benteng.
Di antara Pelataran Tengah dan Pelataran Timur terdapat batas tembok pertigaan antara Pelataran Tengah dan Pelataran Barat. Tampak banyak batu reruntuhan berserakan yang menjadi penanda adanya batas Pelataran Tengah dan Pelataran Barat. Antara Pelataran Tengah dan Pelataran Timur juga dibatasi oleh tembok rendah namun karena situsnya sudah rusak, tak ditemukan lagi sisa batas tembok di sisi selatan atau pun timur.