Kesepuluh, keberhasilan mendukung dan menjadi salah satu sebab capres Prabowo gagal. Gagal mengajukan calon, SBY tidak tegas mendukung Prabowo atau pun Jokowi. Pada akhirnya SBY justru menjadi kunci kekalahan bagi Prabowo. Dukungan SBY digambarkan sebagai dukungan setengah kaki. Satu kaki. Banci. Di satu sisi menyatakan dukungan kepada Prabowo namun dia juga membiarkan Luhut Sitompul menjadi pendukung Jokowi. Sikap SBY ini menghancurkan kondisi psikologis pemilih bahwa SBY saja tak 100% yakin Prabowo akan menang.
Kesebelas, keberhasilan melakukan upaya anti demokrasi dengan usulan Pilkada DPRD namun gagal. Di akhir pemerintahan SBY, SBY mendorong Pilkada DPRD – dan tidak dipilih langsung oleh rakyat. Dengan manuvernya akhirnya SBY yang menginiasiasi ide anti demokrasi lalu menarik kembali rancangan Pilkada DPRD itu dengan Perppu. SBY menjilat ludahnya sendiri.
Tujuan SBY membuat perubahan itu adlah untuk membuat para kepala daerah di bawah kekuasaan para anggota DPRD, untuk menyuburkan korupsi DPRD dan menghancurkan demokrasi. Upaya SBY ini gagal total dan warna SBY dipenuhi dengan gambaran ambigu, peragu dan licik.
Kedua-belas, keberhasilan menjadikan media sosial sebagai alat kesenangan untuk berpidato nggak karuan yang tak ditanggapi oleh Presiden Jokowi. Sudah belepotan gagal membangun Indonesia, SBY masih saja berkoar-koar seolah berkuasa dengan aneka politik Facebook dan Twitter. Mengeluarkan statement seolah masih berkuasa. Berpidato dikira rakyat mendengarkan. Padahal rakyat abai sama sekali dengan akal-akalan SBY dalam politik pencitraannya itu.
Ketiga-belas, keberhasilan menjadi Ketum Demokrat dan memecat pengritiknya Marzuki Alie. Setelah gagal dalam merusak demokrasi dalam Pilkada DPRD, dengan tak tahu rasa malu, SBY tetap menggenggam Ketum Partai Demokrat yang oleh Marzuki Alie disindir karena jadi Ketum yang janjinya sementara. Eh, permanen lima tahun lagi. Apa tujuannya? SBY kemungkinan akan maju lagi tahun 2019, kalau perlu sebagai capres dengan Sutan Bathoegana sebagai Wapres-nya. Selain itu tentu dia akan berkiprah membela pemerintahan gagalnya di Indonesia selama 10 tahun.
Keempat-belas, keberhasilan bersikap menunjukkan post-power syndrome akut. Maka seolah masih berkuasa, SBY memerintahkan Jokowi yang dianggap sebagai menterinya, anak buahnya untuk menuruti omongan SBY. Jokowi juga disuruh-suruh untuk menjelaskan kondisi ekonomi Indonesia saat ini oleh SBY. Buat apa Presiden Jokowi menjelaskan ke SBY? Lah SBY saja sudah tahu sebab kondisi ekonominya: yakni tidak membangun fondasi ekonomi seperti infrastruktur dan berbasis impor sampai impor baju bekas.
Kelima-belas, keberhasilan membuat istilah baru partai penyeimbang yang tak laku; rakyat melihatnya sebagai politik banci tak bertanggung jawab. Salah satu gaya politik paling tidak bertanggung jawab adalah SBY yang tak berani bertanggung jawab mengenalkan istilah banci dalam politik: partai penyeimbang. Istilah partai penyeimbang tidak ada dalam politik. Itu istilah yang dipakai untuk agar bisa bermain di dua atau tiga kaki.
Penyeimbang adalah istilah yang tak bertanggung jawab dan tak pantas dianggap benar dalam konteks teori politik dan sikap etika politik. Istilah penyeimbang adalah istilah yang tak layak dianggap benar dalam politik. Itu istilah yang dibuat sendiri dan tak masuk dalam dunia politik manapun: yang ada adalah sikap banci.
Itulah lima belas keberhasilan SBY selama 10 tahun memerintah. Kalau memang dari sononya ya begitu, anomali manusia SBY menjadi catatan bagi bangsa Indonesia dan Indonesia membuang-buang waktu untuk kelakukan SBY selama 10 tahun. Jokowi? Baru 9 bulan berani membubarkan Petral dan melawan mafia migas dan illegal fishing. 10 tahun SBY tak berani. Kecut. Penakut. Mau bilang oposisi saja tak berani dan menjadi penyeimbang.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H