Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Ditampar Jalan Munir di Den Haag dan LSM

12 April 2015   07:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:14 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_409467" align="aligncenter" width="630" caption="Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengenang 10 Tahun Kasus Munir dalam aksi Kamisan di Istana Negara, Kamis (4/9/2014). Pegiat HAM mendesak penegak hukum untuk membuka kembali kasus Munir untuk menjerat dan menghukum auktor intelektualis di balik pembunuhan Munir. (Kompas.com/Agus Susanto)"][/caption]

Munir kembali mencuat mengingatkan. Jauh di negeri bekas penjajah Indonesia selama 146 tahun yakni sejak tahun 1899 sampai 1945, jalur sepeda Jalan Munir diresmikan. Kini Den Haag, Nederland kembali menjadi ujung tombak penegakan HAM. Mengundang Suciwati untuk membuka kelambu penutup nama jalur sepeda Jalan Munir. Penamaan jalur sepeda itu menjadi simbol penuh tiga makna penting. Mari kita telaah kepentingan kasus Munir ini dengan hati riang gembira senang sentosa bahagia selamanya.

Makna penting pertama. Kasus dianggap Munir belum selesai. Bagi LSM semacam Kontras, kasus Munir pun mengingatkan kembali kepada Indonesia, bahwa kasus Munir dianggap belum selesai. Maka, menjadi butiran emas penamaan jalan jalur sepeda itu bagi pegiat HAM. Kontras secara bombastis menyatakan bahwa penamaan jalan Munir akan memaksa Presiden Jokowi untuk mengganti Kapolri, Jaksa Agung, dan MenhukHAM. Ocehan Hamid itu memang khas LSM yakni begitu ada berita, berita itu dibesar-besarkan melebihi nilanya. Gunanya? Untuk menyusun kliping guna menjadi alat meminta sumbangan di luar negeri.

Maka kabar apapun sekecil apa pun akan dijadikan berita besar. Nah, penamaan jalan Munir pun di-blow-up oleh Hamid dan kawan-kawan di LSM untuk menyusun kliping. Ada warta. Penamaan jalan Munir sesungguhnya mengabarkan dua warta sekaligus.

Dua kabar datang dari Den Haag. Kabar pertama bahagia. Munir dijadikan nama jalan di Den Haag. Itu bagi LSM dan kawan-kawan. Kabar kedua duka. Ternyata bukan jalan yang dimaksudkan namun hanya jalur sepeda. Munir hanya dijadikan nama jalur sepeda. Mobil tidak bisa melewati. Jaraknya pun hanya lima ratus meter. Nama Munir pun tidak disandingkan di daerah dengan nama-nama jalan terkenal seperti Dag Hammarskjold, Albert Schweitzer, Salvador Allende dan Mahatma Gandhi.

Namun, gempita jalur sepeda itu gempar di Indonesia, khususnya kalangan pegiat HAM dan LSM. Seolah ada berita besar. Bahkan penamaan jalur sepeda itu dianggap sebagai peringatan bagi Presiden Jokowi untuk mengusut kasus Munir.

Makna penting kedua. Kasus Munir telah selesai. Bukti bahwa kasus Muir telah selesai adalah Pollycarpus telah dihukum penjara 20 tahun karena disangka membunuh Munir. Fakta korting hukuman menjadi 15 tahun disebabkan adanya bukti baru dalam kasus sumir itu.

Bagi negara, makanya selama 10 tahun SBY berkuasa, kasus Munir juga tidak dipermasalahkan. Penyebabnya adalah kasus itu telah selesai puluhan tahun lalu. Namun,kalangan pegiat HAM selalu menyebut belum selesai. Dan itu selalu menjadi jualan politik LSM seperti yang terjadi dengan penamaan jalur sepeda di Den Haag. LSM menginginkan pesuruh pembunuhan terhadap Munir ditangkap. Padahal yang dianggap sebagai pembunuhnya telah jelas yakni Pollycarpus telah dihukum dan bahkan telah bebas.

Makna penting ketiga. Kasus Munir mengingatkan bahwa Presiden Jokowi harus memerhatikan berbagai kasus HAM yang belum selesai. Mereka seperti kasus-kasus Ahmadiyah, Syi'ah, Haur Koneng, Mesuji, kerukunan hidup beragama, dll. yang lebih jelas dan memberikan manfaat daripada mengungkit kasus Munir yang telah selesai.

Presiden Jokowi pun tak perlu bertindak apapun dan terpengaruh oleh berita ditetapkannya Munir sebagai nama jalur sepeda di Den Haag. Jalur sepeda Munir itu hanya menjadi penghubung ke area dengan jalanan bener - bukan jalur sepeda seperti nama jalur sepeda Munir - yakni Dag Hammarskjold, Albert Schweitzer, Salvador Allende dan Mahatma Gandhi. Nama Munir hanya menghiasi jalur sepeda bukan jalan untuk mobil dan bukan jalan utama.

Jadi, penamaan jalur sepeda yang dibesar-besarkan oleh LSM itu tidak perlu ditanggapi dengan kebakaran jenggot. Hal itu jelas. Karena (1) kasus Munir telah selesai. Namun bagi LSM semacam Kontras, berita apapun dianggap penting untuk (2) mengumpulkan kliping sebagai alat meminta sumbangan duit ke luar negeri dengan menjual berita koran baik online maupun offline dan juga TV. Lalu bagi Presiden Jokowi (3) untuk mengingatkan penyelesaian kasus lain selain Munir yang telah selesai seperti kerukunan hidup beragama, Syia'h Sampang dll. Presiden Jokowi tak perlu repot-repot mencari-cari yang perlu dipersalahkan dalam kasus Munir karena Pollycarpus telah dihukum.

Salam bahagia ala saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun