Teriakan takbir oleh pendukung Anas bergema di KPK. Pendukung Anas meneriakkan tempik sorak takbir. Tindakan pendukung koruptor ini semakin Aneh. Ini fenomena aneh terkait korupsi. Koruptor ternyata banyak pembelanya. Demikian pula Anas Urbaningrum. Yang menyesakkan adalah penggunaan ‘takbir' untuk mendukung koruptor. Tak pantas para koruptor dibela dengan ucapan takbir. Tindakan meneriakkan ‘Allahu akbar' untuk membela koruptor adalah hal yang aneh. Yang jelas, Anas adalah koruptor dengan azas praduga bersalah. Tak ada sejarah KPK meloloskan koruptor. Begitu terjerat kasus dan ditahan KPK ,maka saat itu juga jabatan dan julukann kehormatan dunia akhirat sebagai koruptor (akan) disandang.
Sejarah paling gempita tentu perlawanan ustadz Luthfi Hasan Ishaaq dan konco-konconya termasuk si wani piro Hidayat Nur Wahid, Fahri Hamzah dan Tifatul Sembiring. Partai agama PKS itu juga menggalang dukungan menyatakan KPK salah dan LHI benar - sampai sekarang masih dipercaya oleh para kader taklid buta penganut paham Wahabi Arabia itu. Lalu kenapa para koruptor tetap banyak pendukungnya? Semua itu terkait dengan sesat pikir dan pandangan salah tentang korupsi.
Pertama, sikap publik yang permisif terhadap budaya korupsi. Publik pun terhenyak akan banyaknya orang yang mendukung Anas Urbaningrum. Hal yang sangat aneh Bagaimana pun koruptor adalah sampah masyarakat. Koruptor adalah perampok, maling, pencuri dan pengkhianat bangsa yang layak bukan hanya dihujat, namun juga dihukum berat. Hukuman ringan dan sikap masyarakat yang permisif terhadap budaya korupsi.
Kedua, korupsi sebagai musibah. Sikap masyarakat ini setali tiga uang dengan para koruptor yang menganggap korupsi sebagai musibah, seperti yang dilontarkan oleh pentolan partai korup PKS terkadit korupsi yang dilakukan oleh ustadz Luthfi Hasan Ishaaq. Pembelaan senada juga disampaikan oleh Golkar terkait Ratu Atut. Golkar dan Dinasti Ratu Atut menganggap korupsi Atut dan kroninya sebagai musibah.
Ketiga, korupsi sebagai gaya hidup dan budaya. Para koruptor tanpa malu-malu memertontonkan korupsi sebagai gaya hidup dan budaya. Para pejabat tanpa rasa malu memamerkan kekayaan mereka dari korupsi seperti ratusan para anggota DPR/D, gubernur (Abdullah Puteh, Ratu Atut), walikota (banyak banget), bupati (banyak banget). Anehnya publik pun masih menghormati mereka. Bahkan memiliki pendukung yang banyak sekali.
Keempat, moralitas dan agama sebagai kedok kebejatan. Para koruptor hidup di tengah masyarakat dengan kedok agama sebagai tameng dan topeng. Peribadatan yang dilakukan oleh para koruptor menodai agama dan moralitas. Berbagai gelar keagamaan dinodai dan dilecehkan dengan perbuatan korup seperti gelar haji (contoh Haji Nazaruddin, Haji Anas Urbaningrum, Haji Luthfi Hasan Ishaaq), hajjah (hajjah Angelina Sondakh, hajjah Ratu Atut), gelar ustadz (ustadz haji Luthfi Hasan Ishaaq dan ustadz H. Ahmad Fathanah).
Fenomena berkedok di balik moralitas dan agama menjadikan para koruptor dipuja dan dihormati di kalangan masyarakat. Itulah sebabnya, kini para koruuptor meneriakkan takbir. Ucapan yang seharusnya digunakan untuk kebaikan digunakan untuk mendukung koruptor. Aneh dan melecehkan akal sehat.
Didzolimi. Sesat pikir berikutnya adalah para koruptor merasa didzolimi. Alasannya sederhana: hanya mereka yang tertangkap saja, padahal masih banyak koruptor lain. Tak adil karena hanya mereka yang tertangkap. Jadi mereka merasa didzolimi. Contoh yang menganggap seperti ini ya Anas, Luthfi Hasan, Zulkarnaen Djabar, Ratu Atut. Aneh. Korupsi kok merasa didzolimi. Yang benar koruptor itu dzolim.
Jadi, para pendukung koruptor memang sesat pikir. Mereka tak merasa melakukan korupsi adalah perbuatan salah. Bahkan mereka melakukan pembenaran dengan menggunakan idiom dan simbol agama seperti teriakan ‘takbir' untuk mendukung koruptor yang nota bene dikutuk oleh Allah SWT. Tak ada maling diridzoi oleh Allah. Mereka anggap korupsi sebagai musibah, bahkan merasa didzolimi. Publik harus waspada dan jangan terkecoh dengan pemakaian idiom, moralitas dan kedok agama para koruptor dan pendukungnya.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H