Betapa sebuah tim nasional sepakbola suatu negara menjadi begitu pentingnya. Kejadian ditembak matinya bek Andres Escobar setelah Kolombia gagal di putaran pertama Piala Dunia 1984 menunjukkan betapa pentingnya bayang semu yang disebut nasionalisme dan kebangsaan. Kegagalan suatu Timnas selalu menyesakkan dada. Sebaliknya kemenangan membuat kebahagiaan tak terhingga. Maka atribut Timnas Indonesia memberikan rasa kebanggaan bersama bagi yang merasa sebagai bagian dari konsep nasionalisme negara. Itu berlaku bagi para pemain dan kumpulan manusia yang teridentifikasi sebagai manusia Indonesia.
Kumpulan manusia dikelompokkan berdasarkan tempat dan waktu, lalu diberi label sebagai suatu kesatuan entitas imajiner berupa kampung, maka lahirlah Tim Kampung dan bisa berkompetisi Tarkam (Antar Kampung). Jika imajinasi entitas itu bernama Kota, maka lahirlah Tim Kota, maka lahirlah Kompetisi antar klub seantero entitas negara dalam beberapa level. Lahirlah Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, PSIS Semarang, PSMS Medan dan seterusnya yang diikuti dengan kebanggaan oleh para penghuni dan warga kota. Kemenangan 11 orang di lapangan sepakbola dianggap dan menciptakan kebahagiaan kolektif suatu kota. Misalnya PSIS Semarang menjadi juara kompetisi perserikatan tahun 1987, warga Kota Semarang dan Jawa Tengah mengelukan dan merasa bahagia. Itu kemenangan yang diingat sampai sekarang.
Para pemain dari berbagai klub dan kota merasa bangga jika bermain di kasta tertinggi permainan, membela negara dan bergabung dengan Timnas. Warga kota dan klub bangga jika pemain mereka ditunjuk dan bergabung dengan Timnas. Didier Drogba - yang saat ini bermain untuk sebuah klub di China - sampai akan meminta izin FIFA agar dirinya bisa bermain sepenuh kemampuannya untuk menjadi pemain berstatus pinjaman di Inggris. Betapa Drogba merasa bangga mewakili negara Pantai Gading dalam Piala Afrika 2012.
Maka di Indonesia, lahirlah berbagai klub di berbagai Kota. Para pemain dan pencinta sepakbola mengidentifikasi sebagai pendukung suatu klub suatu kota. Rasa memiliki merasuk dalam konsep kebangsaan, kekotaan, dan kedaerahan yang memicu nilai dan semangat positif berkompetisi. Warga kota akan bangga jika pemain klub kota mereka ditunjuk dan bergabung dengan Timnas Indonesia. Surat kabar lokal tentu akan memberitakan kabar bergabungnya pemain mereka dengan Timnas.
Di tingkat negara, Timnas Indonesia menjadi berita hangat di semua surat kabar nasional dan daerah. Kiprah pemain, pelatih dan pengurus turut serta mewarnai perjalanan Timnas Indonesia. Ingatan dan harapan kolektif pada rasa ‘kemenangan' dan pemakluman rasa ‘'kecewa akibat kekalahan' menimbulkan harapan baru - nanti, suatu saat, beberapa tahun lagi, kompetisi berikutnya adalah ungkapan penghiburan jika suatu Timnas kalah. Itulah sepakbola, sungguh memberikan napas bagi kehidupan positif manusia untuk terus bergerak maju.
Namun anehnya, sifat dan keluhuran itu tidak tampak di Indonesia secara penuh, ketika Timnas Indonesia sekarang lahir di tengah kekisruhan yang disebabkan oleh pengurus, sekali lagi PENGURUS sepakbola yang dipimpin oleh La Nyalla Mahmud Mattalitti. Lahirnya KPSI mencabik-cabik klub, penonton, warga dan pemain. Semua orang disuguhi pernyataan, kampanye, kabar yang miring tentang keberadaan kubu Djohar Arifin - meskipun secara hukum Djohar Arifin diakui oleh FIFA.
Maka, dengan berbagai cara KPSI menghambat dan bahkan tidak memberikan izin bagi para pemain klub untuk membela Negara Indonesia. Berbagai alasan disampaikan bahwa Joint-Committee, bahwa si anu, si fulan, ini-itu yang intinya menunjuk bahwa La Nyalla Mattalitti adalah orang benar, membela yang benar, membela negara. Para pemain pun dibawa dalam alam pemikiran menyesatkan bahwa Djohar Arifin dan PSSI tidaklah sah. Semuanya adalah palsu. Yang disampaikan La Nyalla tak lebih adalah nafsu untuk merusak, menghalangi ‘kebahagiaan bersama manusia normal' di suatu kota dan klub dan Indonesia untuk melihat Timnas Indonesia dengan kekuatan penuh.
Jika memang keberadaan Timnas Indonesia dan PSSI di bawah Djohar Arifin tidak sah, maka kenapa AFF menyetujui kepesertaan di Piala AFF? Lalu kenapa para pemain naturalisasi sebagian ikut juga membela Timnas Indonesia - bukan Timnas KPSI. Jika kebanggaan kolektif imajiner sebagai warga Indonesia dimiliki La Nyalla, setelah Timnas KPSI ditolak, seharusnya La Nyalla membuka pintu lebar-lebar para pemain ISL untuk membela Timnas Indonesia. Alih-alih mendukung Timnas Indonesia, La Nyalla tetap memertahankan Timnas KPSI untuk Piala Asia, dan lagi-lagi para pemain ISL dilarang bermain untuk membela Timnas Indonesia.
Dalam diri La Nyalla Mattalitti dan KPSI menyala suatu sikap anti kebersamaan dan kerendah-hatian. La Nyalla hidup dalam alamnya sendiri. Imajinasi sendiri yang sangat anti sosial, anti kebenaran hukum. Publik Indonesia diberi tontonan kedirian dan keegoisan.
Di tengah serangan La Nyalla Mattalitti itu, yang pasti mengharapkan Timnas Indonesia gagal tampil baik di ajang Piala AFF, yang diliputi rasa iri dan dengki, maka Timnas Indonesia memiliki nyala api perjuangan lebih untuk membuktikan bahwa La Nyalla Matalitti hanya sebagai pengganggu ‘bergaungnya kebanggaan kolektif suatu bangsa'. La Nyalla justru tertawa ketika Timnas Indonesia dibantai 10-0 oleh Bahrain sebagai buktinya.
Kini La Nyalla pasti berharap Timnas Indonesia juga mengalami kegagalan serupa sehingga dia bisa tertawa, sendirian, menikmati kebahagiaan atas kekalahan Timnas Indonesia. Bagi La Nyalla, kekalahan adalah kebahagiaan. Kemenangan adalah derita bagi La Nyalla. Segregasi dan perpecahan pendukung Timnas Indonesia yang biasanya solid adalah rasa gembira La Nyalla. Sungguh aneh manusia satu ini. Bagi La Nyalla, kanan adalah kiri. Benar adalah salah. Kalah adalah kemenangan baginya. Menang adalah derita. Maka suguhilah kemenangan berupa Piala AFF agar La Nyalla berduka. Masalahnya La Nyalla memiliki konsep berbeda di dunia ini. Sungguh luar biasa!