Selain sifat dasar SBY yang peragu, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi semakin ragu karena disandera oleh tiga kepentingan besar yang saling bertolak belakang. Kepentingan-kepentingan ini saling berseberangan dan menjadi tuntutan untuk dipenuhi sesuai syahwat politiknya. Apa penyebab pokok kebimbangan SBY untuk tidak bertindak meluruskan langkah Polri?
Jika SBY benar mendukung pemberantasan korupsi, maka SBY seharusnya dengan tegas menolak dan mengeluarkan pernyataan tentang upaya DPR merevisi UU KPK. Namun nyatanya SBY justru berdiam dan menyetujui revisi UU KPK demi untuk menyelamatkan anggota DPR yang ketakutan terkena garuk KPK. SBY sendiri membutuhkan DPR.
Dalam kasus KPK vs Polri saat ini SBY disandera oleh tiga kepentingan besar. Pertama, SBY bisa memanfaatkan jualan KPK atau pemberantasan korupsi sebagai informasi seksi untuk pencitraan SBY dalam rangka mewujudkan mimpi SBY mengerek Ani Yudhoyono atau Pramono Edhie Wibowo menjadi presiden. Namun SBY mendapat tekanan dari DPR dan Polri serta mafia yang melawan KPK.
Kedua, SBY sebenarnya sejak menjabat pada masa jabatan kedua kepresidenannya sudah berniat untuk duduk manis, aman dan damai memetik buah kekuasaan dengan berteman dengan para pengusaha. Untuk itu maka di kalangan Partai Demokrat SBY mengangkat orang seperti Nazaruddin, Hartati Murdaya dalam kabinet DPP PD. Hasilnya dua orang ini menjadi pesakitan dan diseret KPK.
Jelas keadaan ini menghancurkan mimpi indah skenario safe exit - atau memasuki masa pensiun nyaman aman dan damai. Jika SBY mengambil sikap mendukung KPK, maka tentu akan memberi kesempatan teman-teman akan terjerat kasus korupsi semakin besar. Jika KPK lemah maka kemungkinan niatan SBY bisa tercapai yakni he is doing nothing while waiting for the end of his presidential tenure alias duduk manis tak mengerjakan apa-apa sambil menunggu masa kekuasaan sebagai presiden berakhir. Namun nyatanya DPR dan Polri yang mendapat bagian kerja melemahkan KPK menemui tentangan dari orang tidak waras dan rakyat.
Ketiga, SBY tersandera oleh masih adanya banyak ‘orang tidak waras' - istilah dari para anggota DPR untuk menjuluki orang-orang yang berjuang membela kebenaran dan mendukung KPK dan pemberantasan korupsi. Orang-orang ‘tidak waras' ini berbicara di televisi bisa berwujud sebagai tokoh agama, seniman, wartawan, penulis, kompasianers dan sebagainya yang nyata-nyata hanya membela kebenaran.
Sedangkan di benak SBY, orang tidak waras ini sulit dipengaruhi dan memiliki moral yang baik dan menjunjung kebenaran - bertolak belakang, misalnya, dengan anggota DPR yang menulis draft revisi UU KPK namun begitu masyarakat menolak tak ada yang berani mengakui siapa yang berinisiatif memreteli kewenangan KPK. Masalahnya anggota DPR Komisi III yang ‘waras' itu juga memiliki ketakutan secara pribadi jika diketahui sebagai inisiator revisi UU KPK.
Nah, ketiga kepentingan yang berbeda itu mengganggu dan menyandera SBY; 1) kepentingan pribadi SBY dan keluarganya berupa safe exit dan (2) berkawan dengan pengusaha, (3) adanya tentangan pelemahan KPK oleh orang ‘tidak waras' yang bercokol di LSM atau NGO, organisasi keagamaan, tokoh agama, para seniman, budayawan dan akademisi putih, serta rakyat yang mulai tidak sabar.
Nah, kue cubit sebagai nama kue berasal dari cerita dari Cikeas. Kue cubit ini memiliki nama sejak sekitar delapan tahun lalu, 2004. Waktu itu pembantu perempuan tetangga SBY, yang ikut keluarga Suharjo, sedang beramai-ramai mengantri membeli kue. Kue yang berwujud seperti apem disebut apem. Nah si penjual kue yang bernama Nanan tidak tahu nama kue yang dijual.
Kue setengah bulat yang berasa manis itu belum bernama. Antrean semakin panjang. Di tengah antrean itu pembantu yang genit, seperti tetangganya Pak Suharjo, mencubit penjual kue. Serta-merta si penjual kue, Nanan yang latah itu berteriak,"Kenapa kue cubit, eh, kue cubit, cubit, kue cubit saya! Eh saya!"
"Oh namanya kue cubit ya?" tanya para pembantu Cikeas serempak.