Konflik Ahok versus M. Taufik atau DPRD DKI Jakarta kian meruncing. Islah dan konfrontasi di Kemendagri Kamis (5/3/2015) pagi antara Ahok dan DPRD hanya akan menyisakan konflik makin berkobar. Pun KPK versus Polri juga demikian.
Dalam sejarah peradaban di mana pun, pada zaman kapan pun, ada yang disebut kutukan kulminasi kejahatan. Bagaimana sejarah kutukan kulminasi kejahatan harus dijadikan pelajaran bagi para politisi termasuk kasus M. Taufik versus Ahok - dan juga Polri lawan KPK?
Mari kita tengok kutukan kulminasi kejahatan dalam uraian Ki Sabdopanditoratu. Kisah dalam sejarah Ken Arok dan Tuan KSN - nama disamarkan - dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia dunia akhirat.
Kisah Ken Arok dan Tuan KSN - seorang koruptor - menjadi contoh nyata betapa kejahatan ketika bahkan dipraktekkan secara masif, terstruktur dan sitematis pun akan menghantam mereka sendiri. Hantaman itu berupa sekali lagi kutukan kulminasi kejahatan. Kena batunya.
Ken Arok sejak remaja menjadi begal, pembunuh, pencuri, dan sosialita jahat. Akhirnya, setelah sepak terjang itu, Ken Arok diselundupkan oleh ayahnya yakni seorang resi atau pendeta sebagai pengawal Akuwu Tunggul Ametung.
Sifat jahat Ken Arok muncul ketika Ken Arok memercayai ‘pangkal paha' Ken Dedes adalah kunci kejayaan. Mitos tentang ‘kemenarikan dan tuah pangkal paha' Ken Dedes bagi yang bercinta dengannya akan menjadi raja menjadi pemicu kejahatannya. Maka Ken Arok membunuh Tunggul Ametung melalui tangan Kebo Ijo - sesama pengawal Tunggul Ametung.
Pembunuhan terhadap Tunggul Ametung diyakini oleh Ken Arok sebagai pencapaian tertinggi atas kejahatannya. Padahal, pembunuhan terhadap Tunggul Ametung itu adalah titik kutukan kulminasi kejahatan. Ken Arok dikutuk oleh Resi Mpu Gandring sang mpu pembuat keris yang dibunuh oleh Ken Arok. Dalam kutukan Mpu Gandring disebutkan keris ciptaannya akan membunuh 7 orang, 7 generasi, dan kutukan 7 abad. (Ingat, hampir semua perebutan kekuasan para raja dan sultan di Nusantara melalui pembunuhan. Dari mulai Singasari, Kediri, Majapahit, Sriwijaya, Demak, Pajang, Mataram, Pajajaran, Banten, Pasai, Todore, Bacan, Ternate dsb.)
Dengan membunuh orang yang tak bersalah sama sekali, Ken Arok, telah menerapkan kejahatan kelewatan. Kejahatan kelewatan itu secara alamiah akan meminta kutukan pada pelakunya. Maka Ken Arok yang merasa berhasil mendapatkan Ken Dedes - dan mengangkat diri menjadi Raja Tumapel dan Singasari - sedang menikmati kutukan.
Rasa menikmati kenikmatan menjadi pemenang menyingkirkan Tunggul Ametung membuat kebencian Ken Dedes. Kulminasinya Ken Arok dibunuh oleh Anusapati, anak Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Dan, lebih dahsyatnya, perancang pembunuhan itu adalah Ken Dedes.
Kutukan kulminasi kejahatannya adalah ketika Ken Arok ditusuk dengan keris Mpu Gandring. Pembantu Anusapati bernama Kebo Batil menusukkan keris itu dari belakang Ken Arok. Ketika itu Ken Arok sedang makan bersama Ken Dedes di seberangnya. Keri Mpu Gandring ditancapkan di perut bagian atas uluhati naik menembus jantung Ken Arok. Tangan kiri Kebo Batil membekap mulut Ken Arok, sementara tangan kanannya yang kekar menusukkan keris Mpu Gandring.
Kisah kedua berlangsung dalam masa sekarang pada masa keemasan kemakmuran di bawah rezim eyang saya presiden Soeharto. Tuan KSN yang tinggal di Kerawang Jawa Barat adalah contoh penerima kutukan kulminasi kejahatan. Tuan KSN ini memulai melakukan kejahatan dengan menjadi agen perjudian. Uang hasil perjudian digunakan untuk membangun bisnis kafe dan diskotik di Bandung selain beberapa kafe remang-remang di kota-kota Pantura.