Prabowo dipastikan akan kalah di Mahkamah Konstitusi. Walaupun keputusan Prabowo menggugat hasil pilpres 2014 sudah sejak lama dipersiapkan. Terdapat paling kurang 5 persiapan menuju MK yakni Skenario Quick Count, pengakuan sepihak memenangi pilpres, kecurangan pemilu, otoritas pemilu KPU dan tekanan kepada SBY. Namun SBY dengan cerdik memainkan strategi to save every party untuk memaksa Prabowo memainkan skenario kekalahan terhormat dengan tetap mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Lalu apa tiga faktor penyebab kegagalan skenario kemenangan secara politis dan mistis Prabowo sehingga mengalami kekalahan melawan Jokowi-JK?
Pertama, faktor skenario diam SBY. Seperti telah diulas, kekalahan Prabowo-Hatta di luar ‘skenario diam' Susilo Bambang Yudhoyono. Di tengah kekuatan Prabowo yang meroket, Susilo Bambang Yudhoyono dihadapkan pada pilihan ‘meragukan' bahwa Prabowo akan menang melawan Jokowi. Ketidakyakinan SBY itu diwujudkan dalam bentuk dukungan dua kaki. SBY membiarkan elite Partai Demokrat mendukung Prabowo-Hatta, namun SBY secara pribadi tidak pernah berbicara secara langsung.
Prabowo menjadi mainan dan korban strategi politik SBY yang membuat Prabowo diragukan oleh banyak pendukung dan kader Demokrat. Akibatnya tak banyak dukungan mengalir dari Demokrat. Sejak awal SBY tahu bahwa Jokowi adalah pemenangnya. Maka begitu Jokowi-JK menang, langkah SBY paling strategis adalah mengamankan TNI dan Polri tetap di bawah pengaruh SBY.
Hal pertama yang dilakukan setelah hasil Quick Count Jokowi-JK menang adalah memberhentikan Jenderal Budiman, KSAD, yang seandainya Prabowo menang tak akan pernah diganti. Sebelumnya SBY memerintahkan kepada KPU, TNI, Polri untuk mengawal Pilpres. SBY tak pernah mendukung Prabowo namun lebih mendukung Jokowi-JK karena SBY ingin menjadi demokrat dan negarawan sejati. Dan itu dibuktikan dengan SBY tidak mendukung Prabowo-Hatta.
Kedua, faktor membesar-besarkan kekuatan Prabowo oleh elite para parpol pendukung Prabowo. Prabowo digambarkan menjadi pemenang dan orang kuat: pasti menang. Prabowo selain menjadi ajang pembuktian strategi diam SBY yang membugkam Prabowo, juga menjadi bahan ‘pembesaran diri Prabowo' oleh para anggota partai Koalisi Merah Putih. Aburizal Bakrie, Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Suryadharma Ali, Dradjat Wibowo, Tantowi Yahya, membesarkan Prabowo melebihi kebesaran dan kekuatan yang sesungguhnya.
Pembesaran dan penguatan-penguatan yang melebihi kebesaran dan kekuatan yang sesungguhnya dari Prabowo terkait, elektabilitas, pengaruh, kekuatan, dan kehebatannya, telah membuat Prabowo menjadi melebihi kebesaran dirinya. Muncullah keyakinan tak terbendung bahwa Prabowo adalah kekuatan, kekuasaan, kehebatan yang tak akan kalah oleh Jokowi. Hal ini juga didengungkan dengan sangat nyaring oleh tak hanya ARB, SDA, dkk, namun juga orang seperti Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Mahfud MD yang kehilangan kesadaran bahwa tetap ada kemungkinan Prabowo-Hatta kalah.
Ketiga, faktor mistis Garudan, Gru dan Candi Kidal. Salah satu faktor kekalahan Prabowo-Hatta adalah penggunaan lambang Garuda. Lambang Garuda yang telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi (diputuskan oleh Mahfud MD selaku Ketua MK saat itu) digunakan sebagai sarana kampanye. Garuda adalah lambang suci yang terdapat pada mitos dan mistis di candi Kidal, Malang, Jawa Timur, Candi Cetho dan Candi Sukuh di Karangangyar Jawa Tengah.
Sebagai lambang, Garuda tak boleh digunakan sembaragan dan tak boleh dipakai oleh orang tak suci. Dalam partai pendukung Prabowo ada salah satu tersangka pencuri atau koruptor bernama Suryadharma Ali. SDA ini yang menjadi titik noda, Prabowo-Hatta. Prabowo menjadi tercoreng oleh ketidaksucian SDA dan Garuda menjadi malapetaka atau prahara bagi kemenangan Prabowo-Hatta.
Arti ‘Gru' pada akar kata Garuda memiliki arti ‘menelan'. Bahkan Dewa Wisnu pun kalah dibandingkan dengan Garuda. Dan Garuda pun menjadi kekuatan menelan bagi yang tidak benar atau orang yang tak suci. Cerita tentang candi Kidal yang menjadi makam atau tempat menelan Anusapati dengan diiringi oleh cerita Garuda merupakan sejarah tentang Raja Anusapati yang terpaksa harus tewas dibunuh, meskipun menjadi peletak dasar penting Kerajaan Singhasari - rintisan awal kerajaan Majapahit.
Perlu dicatat bahwa Garuda menjadi lambang kejayaan Ken Dedes dan Tunggul Ametung yang menurunkan raja-raja Singhasari. Ken Arok hanya menjadi alat dan sarana untuk kejayaan, kekuasaan, dan kebesaran bagi keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Bagi Anusapati, gru dan Garuda, memiliki dua makna sekaligus seperti termaktub dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama.
Anusapati menggunakan lambang Garuda, cerita Garuda sekaligus untuk menggambarkan kekuatan dan kemalangan keturunan Tunggul Ametung dan Ken Dedes serta berkorbannya Ken Arok sebagai perantara kebesaran bagi Anusapati menurunkan para raja Singhasari dan Majapahit pada akhirnya. Tak lupa sejarah bangsa Indonesia bahwa istri atau garwo penting, slah satu syarat yang tak dipenuhi oleh Prabowo adalah rujuk kembali dengan Titiek Soeharto yang gagal dilakukan sebelum pilpres.