Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Prabowo kalah. Bisa dipahami, Prabowo sangat kecewa dan sakit hati. Mimpi 15 tahun Prabowo untuk menjadi presiden sirna oleh seorang tukang mebel, Jokowi, yang dia bantu naik menjadi Gubernur DKI. Para pentolan partai dan Timses seperti Fadli Zon tidak mengingatkan agar Prabowo sadar akan posisinya dan menerima dengan legawa, malahan Fadli Zon dan Timsesnya menjadi kompor bagi Prabowo. Hingga Prabowo hidup di luar dirinya. Prabowo hidup dalam bayang kemenangan semu yang membuat Prabowo semakin kecewa.
Secara logika hukum, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenangkan Jokowi JK bersifat final dan mengikat. Upaya hukum Prabowo membawa persoalan pemilu untuk menggugat ke PTUN tidak memiliki logika hukum. Prabowo tidak paham tentang hukum pemilu. Di sisi politik, Pansus DPR koalisi Prabowo tak akan mundah untuk diwujudkan. Dengan alasan itu maka satu per satu aggota koalisi akan meninggalkan Prabowo sendirian. Bagaimana akibat putusan MK berpengaruh kepada Prabowo dan anggota koalisi Merah Putih?
Pertama, Prabowo tak akan menerima putusan MK. Persoalan tentang hukum dan peraturan KPU di PTUN tak akan berguna karena pemilu sudah selesai. Tuntutan Prabowo ke MA dan PTUN tidak akan memengaruhi hasil pemilu presiden. Apapun tak akan menghasilkan pengubahan hasil pemilu presiden. Pun hasil keputusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) pun tidak akan mengubah hasil pemilu presiden.
Kedua, Prabowo akan memimpin upaya secara politis merebut kekuasaan melalui Pansus Pilpres. Pansus Pilpres tak bisa mengubah keputusan MK. Jika berhasil terbentuk, yang terkena persoalan pansus justru KPU dan KPU ini tidak akan memengaruhi hasil pilpres.
Ketiga, Prabowo akan berjuang sendirian ditemani oleh Golkar (sampai tahun 2015 menunggu Ical terjungkal dari tampuk kekuasaan) dan PKS tentunya. Koalisi Merah Putih akan ambruk mulai tanggal 21 Agustus 2014. Hal ini bisa dipastikan karena Susilo Bambang Yudhoyno telah mengisyaratkan mendukung Jokowi-JK dan akan segera melakukan transisi penyerahan kekuasaan dari SBY ke Jokowi.
Keempat, para partai koalisi berpikir dan menyadari tak ada gunanya untuk terus-menerus memenuhi tuntutan Prabowo yang semakin jauh dari logika normal. Lihatlah Prabowo memimpin upacara bendera bak presiden - ini wujud megalomania Prabowo . Perhatikan Prabowo mengajak ibu-ibu untuk membuat dapur umum - kayak mau perang saja ada dapur umum. Prabowo membayangkan semua orang mendukungnya. Padahal para pendukung itu juga memiliki pilihan lain yakni melanjutkan hidup normal secara politis, ekonomi dan politik.
Para partai memiliki kepentingan menjaga konstituen. Jika mengikuti perilaku Prabowo, maka para partai bisa-bisa ditinggalkan oleh para simpatisan dan pendukung. Para parpol akan lelah dan bosan mengikuti kelakuan dan sikap Prabowo yang tak rasional dan jauh dari sikap taktis sebagai politikus. Jika sebenarnya Prabowo menerima hasil pilpres dengan legawa, maka dipastikan Prabowo akan memenangkan Pilpres 2019. Namun, harapan itu telah musnah dan Prabowo kalah secara total. Kalah di pilpres dan kalah sebagai politikus.
Dengan keputusan MK itu, maka itu awal dan akhir dari karir politik Prabowo untuk selama-lamanya. Akibat sikap dan sifat Prabowo yang tidak menunjukkan diri sebagai pribadi yang menarik, politikus santun dan negarawan hebat, maka upaya apapun yang akan dilakukan oleh Prabowo hanya akan menjadi cibiran yang mengirinya tersingkir dari kehidupan politik di Indonesia. Dan, itu artinya penantian 15 tahun mimpi menjadi Presiden Republik Indonesia kandas dan tuntas dengan kekalahan yang menyakitkan hati. Makanya seharusnya Pak Prabowo jangan maju nyapres biar nggak sakit hati. Kambing nggak sakit hati tuh karena nggak nyapres.... He he he.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H