Sepak terjang Ahok, a double minority Kristen dan keturunan Tionghoa, melawan Muhammad Taufik dan Haji Lulung sungguh fenomenal. Perseteruan Ahok dengan Muhammad Taufik, Haji Lulung dan DPRD mengingatkan pejuang masa lalu Soe Hok Gie. Yang lebih kekinian Budiman Sujatmiko, dan yang tentu hebat Tan Malaka dan Bung Karno. Ahok tiba-tiba tampil ke panggung politik perjuangan revolusioner di Indonesia. Mari kita telaah fakta menarik munculnya Ahok ini dengan hati gembira ria.
Seperti Soe Hok Gie yang berani menyuarakan kemanusiaan - dengan korban dirinya pada akhirnya ketika melawan rezim penguasa bersama Arief Budiman dan kawan-kawan. Soe Hok Gie yang muda memiliki visi dan cara pandang kebangsaan, kenegaraan, dan keindonesiaan yang utuh. Ahok sebagai seorang keturunan Tionghoa keluar dari kebiasan membuat stereo-type terhadap etnisnya sendiri.
Berdasarkan kebenaran sikap, Soe Hok Gie meyakini bahwa kebenaran dan kebebasan adalah hal yang hakiki. Maka Ahok terinspirasi oleh Soe Hok Gie mengatakan terkait keluar dari Gerindra yang merupakan resonansi perkataan Soe Hok Gie: "Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka".
Maka, Ahok pun yang tak mau mengikuti arus Gerindra, tak mau dikontrol dan dijadikan sapi perah oleh DPRD dengan UU Pilkda yang baru. Ahok keluar dari Gerindra.
Ahok pun memiliki keberanian sekelas bahkan melebihi teman saya Budiman Sudjatmiko, pendiri Partai Rakyat Demokratik dalam melawan rezim yang anti demokrasi. Ahok tahu tentang akibat dan dampak UU MD3 dan UU Pilkada akan membelenggu dan menciptkan rezim seperti Orde Baru. Dengan pemilihan oleh DPRD yang akan terjadi rakyat akan diperas oleh anggota DPRD. Maka Ahok pun menentukan langkah dengan menentang karena akan terbentuk politik dinasti.
Ahok dengan berani melawan rezim koalisi permanen yang di dalamnya ada Gerindra yang bermaksud mereduksi demokrasi. Maka Ahok keluar dari Gerindra.
Ahok pun menggambarkan diri sebagai pejuang yang tak menginginkan kekayaan dan ketenaran. Tan Malaka adalah potret pejuang yang tak butuh publikasi: kerja-kerja dan kerja. Tan Malaka melakukan pekerjaannya sebagai agen, penyelundup, pembeli senjata, diplomat bawah tanah, demi untuk rakyat dan bangsa Indonesia. Kecintaan Tan Malaka kepada Indonesia yang menjadi semua dasar langkahnya.
Ahok pun demi mencintai rakyat dan berbuat untuk rakyat melakukan dan bersikap keluar dari Gerindra untuk tidak mencari kekayaan di tengah kebanyakan pejabat publik serakah untuk korupsi dan memerkaya diri.
Dan Ahok pun adalah potret Bung Karno muda. Di tengah kekuasaan Belanda di Hindia Belanda, Bung Karno memiliki sikap untuk menentang Belanda yang dianggap menyengsarakan bangsa Hindia Belanda. Bung Karno tampil ke muka sendirian memimpin melawan Belanda dan menyatakan Indonesia akan merdeka. Inspirasi keberanian Bung Karno itu menular dan mengendap dalam diri Ahok. Ahok melihat kesejahteraan rakyat dan rakyat tidak dipikirkan. Rakyat hanya menjadi korban dari pesta-pora para pejabat yang justru menyengsarakan rakyat. Ahok menjadi pembela rakyat yang tidak sejahtera.
Sepak terjang Ahok sebagai Wagub DKI adalah wujud inspirasi Bung Karno yang mencintai rakyat kecil. Rakyat kecil adalah obyek yang harus diperhatikan dan dicintai oleh para penguasa. Bung Karno adalah sosok yang sangat mencintai rakyatnya. Maka ketika Bung Karno diasingkan dan ditahan oleh diktatator eyang saya Presiden Soeharto, Bung Karno yang biasa dekat dengan rakyatnya, langsung mengalami penurunan kesehatan sebagai akibat ‘dibunuh secara pelan-pelan' dengan ‘obat yang disediakan oleh agen CIA' - kalau sekarang semacam racun arsenic dengan dosis ringan plus kombinasi obat yang oleh USDA pun dilarang digunakan.
Catatan kesehatan Bung Karno 8 bulan sebelum meninggal dunia selalu menderita penyakit ‘pusing, tekanan darah tak stabil, dan gangguan pencernaan' yang identik dengan kandungan obat semacam racun arsenic dosis rendah.