Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Nilai Mistis Kebo Bule, Ratu Hemas, Grace Kelly, dan Pecahnya DPD RI

6 November 2014   15:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:29 2230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kerajaan Jogja pun mengalami masalah seperti pernikahan Kerajaan Monako. Sultan Hamengkubuwono IX yang agung gagal mengangkat permasuri dari kalangan ‘ perempuan ningrat kelas satu' dari banyak selir. Bahkan sampai mangkatnya Hamengkubuwono IX, tak ada putra Mahkota yang diangkat. Akhirnya, kebiasaan petani - sebagai asal-usul para raja Mataram - penentuan putra mahkota yang akan diangkat menjadi Raja atau Sultan Jogjakarta dilakukan atas ‘turunnya wahyu kedaton'. Maka Pangeran Mangkubumi diangkat dan jadilah dia Sultan Hamengkubuwono X.

Mengulangi trah biasa, Sultan HX X pun mengukuti jejak ‘tidak memilih dari kalangan' ningrat kelas 1. Bibit, bebet, bobot dikalahkan oleh sekali lagi kebudayaan kontemporer: artis, model, penyanyi, selibritas yang sama nilanya dengan pengikis tradisi pernikahan yang keluar dari tradisi klasik ningrat ala Pajang dan Mataram mula-mula yang ketat: keturunan ningrat. Menikahlah HB X dengan seorang mantan model: Titiek Dradjat Supriastuti. Sejarah keturunan satu perempuan dengan enam lelaki bersaudaranya jelas akan mengeringkan keturunan lelaki. Dan, benar. Sultan HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti tak memiliki anak lelaki sebagai pewaris Kerajaan Jogjakarta. Hilanglah garis keturunan lelaki pewaris takhta dari HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti.

Sikap dan sifat dasar GKR Hemas sebagai orang kebanyakan pun muncul dalam kiprah politiknya di DPP. Semua itu disebabkan beban sejarah dalam darah kebanyakan Tatiek Dradjat Supriati yang terlalu berat. Maka luapan keaslian ‘kultur, budaya, sikap, tingkah laku' GKR Hemas alias Tatiek Dradjat Supriati muncul. Manuver GKR Hemas di DPD adalah tidak menunjukkan intrik ‘kebangsawanan Kerajaan Mataram' namun intrik datar politik kebanyakan ala partai.

Kondisi carut-marut ini lebih dalam lagi dilambangkan dengan munculnya Jokowi yang mencuat menjadi "penguasa baru' keturunan Ki Juru Mertani yakni Joko Widodo yang berasal dari trah Mataram. Kebesaran Jogja dari dalam keraton tergerus akibat pernikahan dan perseliran ala petani yang menjadi ciri Kerajaan Mataram di kalangan para putra-putri dan raja Jogja dan Solo.

Maka Jokowi pun tampil mengalahkan semua keturunan para raja Mataram. Kondisi ini disadari oleh Tatiek Dradjat Supriastuti yang tak menyukai naiknya keturunan saingan mistis Ki Juru Mertani yang lebih kuat: Joko Widodo. Itulah sebabnya GKR Hemas mendukung Koalisi Prabowo dan kekalahan Jokowi adalah kebahagiaan mistis dalam jiwa Tatiek Dradjat Supriati.

Perlambang mistis tergerusnya kehormatan itu antara lain: Kebo Bule Kyai Bodong tewas ditombak rakyat - sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Itulah salah satu tanda mistis akibat kengawuran pernikahan yang tak memerhatikan bibit, bebet, bobot dalam sejarah kerajaan Solo, Jogja dan Monako. Itulah wejangan Ki Sabdopanditoratu dalam menyikapi matinya Kebo Bule Kyai Bodong.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun