Kerajaan Jogja pun mengalami masalah seperti pernikahan Kerajaan Monako. Sultan Hamengkubuwono IX yang agung gagal mengangkat permasuri dari kalangan ‘ perempuan ningrat kelas satu' dari banyak selir. Bahkan sampai mangkatnya Hamengkubuwono IX, tak ada putra Mahkota yang diangkat. Akhirnya, kebiasaan petani - sebagai asal-usul para raja Mataram - penentuan putra mahkota yang akan diangkat menjadi Raja atau Sultan Jogjakarta dilakukan atas ‘turunnya wahyu kedaton'. Maka Pangeran Mangkubumi diangkat dan jadilah dia Sultan Hamengkubuwono X.
Mengulangi trah biasa, Sultan HX X pun mengukuti jejak ‘tidak memilih dari kalangan' ningrat kelas 1. Bibit, bebet, bobot dikalahkan oleh sekali lagi kebudayaan kontemporer: artis, model, penyanyi, selibritas yang sama nilanya dengan pengikis tradisi pernikahan yang keluar dari tradisi klasik ningrat ala Pajang dan Mataram mula-mula yang ketat: keturunan ningrat. Menikahlah HB X dengan seorang mantan model: Titiek Dradjat Supriastuti. Sejarah keturunan satu perempuan dengan enam lelaki bersaudaranya jelas akan mengeringkan keturunan lelaki. Dan, benar. Sultan HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti tak memiliki anak lelaki sebagai pewaris Kerajaan Jogjakarta. Hilanglah garis keturunan lelaki pewaris takhta dari HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti.
Sikap dan sifat dasar GKR Hemas sebagai orang kebanyakan pun muncul dalam kiprah politiknya di DPP. Semua itu disebabkan beban sejarah dalam darah kebanyakan Tatiek Dradjat Supriati yang terlalu berat. Maka luapan keaslian ‘kultur, budaya, sikap, tingkah laku' GKR Hemas alias Tatiek Dradjat Supriati muncul. Manuver GKR Hemas di DPD adalah tidak menunjukkan intrik ‘kebangsawanan Kerajaan Mataram' namun intrik datar politik kebanyakan ala partai.
Kondisi carut-marut ini lebih dalam lagi dilambangkan dengan munculnya Jokowi yang mencuat menjadi "penguasa baru' keturunan Ki Juru Mertani yakni Joko Widodo yang berasal dari trah Mataram. Kebesaran Jogja dari dalam keraton tergerus akibat pernikahan dan perseliran ala petani yang menjadi ciri Kerajaan Mataram di kalangan para putra-putri dan raja Jogja dan Solo.
Maka Jokowi pun tampil mengalahkan semua keturunan para raja Mataram. Kondisi ini disadari oleh Tatiek Dradjat Supriastuti yang tak menyukai naiknya keturunan saingan mistis Ki Juru Mertani yang lebih kuat: Joko Widodo. Itulah sebabnya GKR Hemas mendukung Koalisi Prabowo dan kekalahan Jokowi adalah kebahagiaan mistis dalam jiwa Tatiek Dradjat Supriati.
Perlambang mistis tergerusnya kehormatan itu antara lain: Kebo Bule Kyai Bodong tewas ditombak rakyat - sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Itulah salah satu tanda mistis akibat kengawuran pernikahan yang tak memerhatikan bibit, bebet, bobot dalam sejarah kerajaan Solo, Jogja dan Monako. Itulah wejangan Ki Sabdopanditoratu dalam menyikapi matinya Kebo Bule Kyai Bodong.
Salam bahagia ala saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI