Harga BBM dinaikkan oleh Presiden Jokowi. Ibas berteriak yang ujungnya ke arah pemakzulan Jokowi. DPR ribut dan gaduh. Sangat menarik. Menarik mengamati politik Indonesia kontemporer pasca reformasi (baca: hasilnya palsu) 1998. Parlemen menjadi dominan. Habibie, Gus Dur, Mega, bahkan SBY menjadi korban pemerintahan sistem banci presidensial-parlementer. Akibatnya, keempat presiden yang disebut - nanti juga termasuk Jokowi jika tak berbeda dengan para presiden pendahulu - tidak bisa menjalankan pemerintahan secara efektif. Penyebabnya adalah kepentingan perebutan peluang ekonomi oleh para anggota DPR. Bagaimana DPR yang kurus kering secara kue ekonomi akan menyandera presiden dan bagaimana Jokowi bisa terjebak dalam belitan kesulitan seperti keempat presiden sebelumnya? Mari kita telaah dengan hati gembira ria.
Sesungguhnya DPR adalah lembaga resmi perwakilan pengaturan dan pengambilan asset ekonomi dengan cara pengaturan Daftar Isian Proyek (DIP) - meskipun peran Banggar telah dikurangi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) - namun senyatanya mereka tetap berkelit dan masih menempatkan Banggar dalam alur penguasaan dana APBN yang akan dikapling-kalping selama sepuluh tahun terakhir.
Perubahan sikap dan arah Presiden Jokowi terkait proyek-proyek dan program kerja pemerintahan Jokowi-JK banyak merugikan para anggota DPR. Persis tergambarkan seperti di DKI, para anggota DPRD DKI selama masa kepemimpinan Jokowi-Ahok banyak menjadi kurus kering kerontang kantongnya karena program kerja dilakukan terbuka. Para anggota DPRD DKI yang sebelumnya menjadi para calo proyek tak leluasa bermain. Justru yang berperan korupsi adalah para kepala SKPD seperti Udar Pristono, Abbatoir Pemotongan Hewan, Dinas Pendidikan.
Gambaran kurus kering itu akan menghantui anggota DPR RI. Praktek menekan para menteri dan BUMN oleh DPR akan serta merta mendapatkan tentangan dan kelihatan secara transparan dan diumumkan oleh menteri dan diawasi KPK. Akibatnya, mereka akan kurus kering kerontang kantong bobol tak balik modal karena investasi caleg yang mengeluarkan antara Rp 7 M sampai 20 M seperti kata Pramono Anung.
Kondisi kurus kering anggota DPRD DKI seperti itu menyebabkan para anggota DPRD DKI secara psikoligi mendapatkan tekanan. Tekanan psikologi kurus secara ekonomi ini menyebabkan orang yang pernah korupsi seperti Muhammad Taufik menampakkan sifat aslinya: melawan kebenaran dengan cara apapun, misalnya menolak Ahok. Kenapa Ahok ditolak? Jawabnya sederhana. Kue ekonomi dan kondisi kurus kering para anggota DPRD menyebabkan perlawanan. Kebiasaan menikmati kue ekonomi tiba-tiba dihalangi oleh Ahok. Maka secara psikologis, ibarat cacing, jika diinjak akan bereaksi.
Hasilnya, para anggota DPRD itu menampakkan diri menjadi kelompok ormas. Ada ormas yang disebut koalisi Prabowo dan ormas koalisi Jokowi dengan tujuan yang mirip. Yang satu berkuasa secara palsu yakni dalam bentuk ‘potensi kekuasaan' yakni koalisi Prabowo. Yang satu ‘benar-benar berkuasa' dan lebih memiliki akses ke kue ekonomi dengan berbagai cara pemenangan proyek. Namun sebenarnya mereka, kedua kubu, menampakkan diri sebagai wujud ormas.
Nah, kubu Prabowo dengan para anggota seperti Muhammad Taufik, Lulung jelas akan menggandeng ormas yang sama dengan mereka: seperti FPI dan FUI. Sama dengan kondisi psikologis terancamnya peluang dan kue ekonomi yang diatur transparan, maka M Taufik dan Lulung jelas mendukung dan berafiliasi dengan ormas yang sejalan dengan pikiran mereka. Ini bisa dimaklumi secara psikologis dan ekonomis.
Refleksi kondisi psikologi terancamnya ekonomi para anggota DPRD DKI ini membias sempurna ke parlemen DPR RI. Gundah gulana sempurna dengan tekanan psikologi kembali modal kampanye pileg dan bahkan pilpres, menyebabkan orang semacam Ibas, Fadli Zon, Fahri Hamzah dan bahkan Effendi Simbolon berteriak-teriak tak karuan yang menampakkan masalah psikologi yang disebabkan oleh tekanan ekonomi yang mirip kejadian di DPRD DKI Jakarta.
Jadi, dapat dipahami kalau Ibas berteriak lantang dan ditemani oleh Effendi Simbolon, mengarahkan ide untuk memakzulkan Jokowi. Itu wajar karena wujud frustasi kehilangan kue ekonomi. Secara psikologis, tekanan ekonomi akan menyebabkan orang kehilangan keseimbangan pemikiran. Tak terkecuali anggota
DPRD DKI dan DPR RI. Kondisi ini menyebabkan lembaga DPRD DKI dan DPR RI menjadi semacam ormas dan berafiliasi dengan ormas. Ada ormas Prabowo dan ormas Jokowi di DPR RI.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H