Lalu fenomena (4) seolah Badrodin Haiti tidak berdaya menghadapi faksi Budi Gunawan dan Budi Waseso. Bagaimana pun Badrodin Haiti menunjukkan perbedaan dengan Budi Waseso dan menunjukkan kekuartannya: apalagi masuk bursa calon Kapolri. Sementara Budi Waseso oleh publik dikaitkan dengan Budi Gunawan; dan langkah menyerang KPK dianggap menciptakan fenomena bahwa Budi Gunawan dan Budi Waseso sama. Hal ini seperti disampaikan oleh Tim 9 bentukan Jokowi dan tolakan terhadap Budi Gunawan dan Budi Waseso oleh Pemuda Muhammadiyah. Ini fenomena yang jelas merugikan Budi Gunawan dan Budi Waseso.
Yang menarik fenomena (5) seolah masyarakat buta dan tuli melihat fenomena politik yang dimainkan oleh Polri. Anggapan bahwa Polri menunjukkan tajinya sehingga banyak pelaku tersangka korupsi mangkir seperti Suryadharma Ali menjadi fenomena tersendiri. Sikap SDA jelas merupakan reaksi atas fenomena bahwa Budi Gunawan dan para saksinya mangkir - hanya Sitepu yang memenuhi panggilan KPK. Fenomena ini justru merugikan bagi yang tak memahami politik sebagai esensi kebenaran.
Nah, akibat termakan oleh fenomena baik yang dimainkan oleh (1) Presiden Jokowi - dengan mengulur-ulur waktu, atau yang dimainkan sendiri sebagai reaksi terhadap (2) fenomena di DPR, (3) internal Polri, (4) KPK, (5) Presiden Jokowi dan para partai pendukung, maka secara keseluruhan strategi politik yang menghasilkan fenomena politik dan persaingan di Polri dainggap dimainkan oleh Budi Waseso dan Budi Gunawan.
Hasilnya, tercipta fenomena bahwa Budi Gunawan dan Budi Waseso dianggap satu paket dan identik.Fenomena yang menjadi persepsi bagi publik, media, Badrodin Haiti, Presiden Jokowi dan DPR tentu tak menguntungkan bagi Budi Gunawan dan Budi Waseso.
Maka persepsi atas fenomena yang ditangkap oleh Polri, c.q. Budi Gunawan dan Budi Waseso menjadi bola liar fenomena politik-hukum yang sangat menarik. Dan, setiap politikus harus cermat membaca setiap fenomena politik dengan memahami kepentingan-kepentingan di balik fenomena politik itu. Dalam kasus fenomena politik marathon yang melibatkan Polri, KPK, Jokowi, PDIP, NasDem, Hasto, Tedjo, JK, Trio Macan, Effendi Simbolon, Fahri Hamzah, Aziz Syamsuddin, Fadli Zon, bahkan Prabowo, dan politikus lain, justru yang diuntungkan adalah tetap Presiden Jokowi.
Yang dirugikan justru Budi Gunawan dan Budi Waseso, Kenapa? Presiden Jokowi didukung oleh TNI dan BIN secara solid. Ini yang menjadi kalkulasi politik Prabowo - dan juga para partai lain yang tetap mendukung Presiden Jokowi.
Oleh karena itu, terkait calon Kapolri, jelas Presiden Jokowi - dengan membaca fenomena politik dan internal Polri - akan menolak melantik Budi Gunawan dan tak akan memilih Budi Waseso sebagai calon Kapolri. Kenapa? Fenomena politik penyebabnya. Esensinya: Presiden Jokowi masih didukung oleh TNI dan mayoritas BIN di semua lembaga secara solid. Itulah cara membaca politik sebagai fenomena dinamis dan bukan matematis, kadang tanpa esensi, karena politik sesungguhnya hanya kepentingan akan kekuasaan(baca: untuk cari makan).
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H