Dalam politik, yang sebenarnya terjadi adalah fenomena. Maka strategi politik yang dijalankan oleh Budi Gunawan dan Budi Waseso terjebak oleh berbagai fenomena yang berkembang. Politik selalu dinamis dan tak mudah dikalkulasi. Kekuatan dan kekuasaan (kadang berwujud fenomena dan bukan esensi) yang menjadi dasar kemenangan politik bisa menjadi boomerang. Maka dapat dipastikan langkah-langkah Budi Gunawan dan Budi Waseso untuk mendapatkan kekuasaan akan kandas. Dua Budi itu dijebak dengan fenomena politik yang dimainkan oleh banyak pihak. Bagaimana fenomena politik itu menjebak Budi Gunawan dan Budi Waseso? Mari kita telaah dengan hati riang gembira senang sentosa bahagia ria.
Politik selalu dinamis dan bergerak mengikuti satu arah: kepentingan. Hanya kepentinganlah yang menjadi teman, musuh, karib, seteru, saingan dan pendukung, oposisi dan penguasa. Yang menarik, sering tak ada beda antara fenomena dan esensi politik. Fenomena jebakan politik yang dimainkan banyak orang telah melumpuhkan strategi untuk berkuasa. Kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Budi Gunawan dan Budi Waseso telah menjebak mereka.
Tak dapat dipungkiri, Polri adalah lembaga yang sangat kuat dan memiliki data lengkap terkait tindakan kriminal atau penyelewengan hukum warga negara. Nah, kekuatan data dan kuasa itu - ditambah dengan gempita fenomena politik yang dilancarkan DPR dan PDIP - dianggap sebagai alat dan kunci mematikan persaingan merebut kursi Kapolri.
Unjuk kekuatan pun digelar. Budi Waseso tanpa izin dan pemberitahuan kepada Badrodin Haiti - pelaksana tugas Kapolri - yang nota bene atasan Budi dan Budi tidak dianggap. Bambang Widjajanto pun ditangkap. Namun, akibat salah perhitungan akan kekuatan diri dan pihak lain - media dan rakyat - maka penangkapan itu menjadi titik gelap yang publik menyebut sebagai kriminalisasi. Bahkan Komnas HAM - yang tidak ada gunanya dan menghambur-hamburkan uang doang - menyebutkan penangkapan Bambang sebagai melanggar HAM. Publik sudah telanjur memberi cap: ada kriminalisasi terhadap KPK.
Namun, bukan Budi dan Budi - yang dikabarkan akan berbesanan - jika tidak saling mendukung. Maka bersama dengan elemen lain seperti Hasto Kristiyanto dan elemen lain seperti caleg gagal dari NasDem dan PDIP melanjutkan upaya kriminalisasi terhadap Pandu, Zulkarnaen dan bahkan Johan Budi. Upaya ini pun bukan membuat Budi dan Budi didukung oleh rakyat - malahan kesan kriminalisasi terhadap KPK semakin kencang.
Pra-peradilan Budi Gunawan pun melebar ke mana-mana, satu ciri khas pengacara Maqdir Ismail seperti ketika kasus gugatan di Mahkamah Konstitusi. Tujuannya jelas mendeskreditkan KPK. Bahkan kesaksian Hasto punmenjadi hambar dan semakin membuat kesan kriminalisasi semakin kuat. Kehadiran saksi ahli unik Margarito Kamis pun akan mendalilkan pembelaan - bukan ahli bener.
Hakim yang memimpin sidang pra-peradilan diperkirakan akan memberi keuntungan kepada Budi Gunawan. Peluang untuk menolak pra peradilan sangat kecil. Satu alasan untuk menolak hanya satu: Hakim Sarpin Rizaldi berpikir membersihkan namanya yang belepotan selama ini. Hakim ini sering melepaskan kasus korupsi. Justru keuntungan berpihak ke KPK karena hakim ini tengah disorot. Secara psikologis, hakim yang memiliki catatan buruk hanya akan berlaku menyimpang dan merugikan pihak yang benar. Namun, di tengah sorotan publik, sikap menghancurkan diri sendiri dengan memenangkan gugatan pra peradilan bagi Budi Gunawan akan semakin menenggelamkan nama Hakim Sarpin Rizaldi. Kenapa?
Banyak pakar hukum menyatakan bahwa pra-peradilan yang menetapkan seseorang menjadi tersangka bukanlah obyek pra-peradilan. Namun, justru di situlah muncul fenomena yang melatarbelakangi sehingga Budi Gunawan nekat maju melawan. Faktor Sarpin menjadi fenomenal.
Para fenomena yang berkembang terkait KPK dan Polri adalah (1) seolah ada arus besar dari DPR yang mendukung Budi Gunawan. Padahal kini ancaman interpelasi telah menjadi pepesan kosong. Aziz Syamsuddin yang dua pekan lalu mengancam Presiden Jokowi harus segera melantik Budi Gunawan atau terancam interpelasi dalam satu pekan, kini DPR terlihat ngeper. Fadli Zon pun hanya menagih janji Jokowi tanpa mengancam interpelasi.
Fenomena (2) seolah Presiden Jokowi sudah tak berdaya sama sekali. Kalkulasi politik bahwa Presiden Jokowi lemah tidak terbukti. Di tengah kisruh Presiden Jokowi memberi amanat agar tak ada gerakan dan maneuver dari Polri terkait perseteruan dengan KPK. Hasilnya, perintah Presiden Jokowi ditaati oleh Badrodin Haiti.
Fenomena selanjutnya (3) seolah PDIP dan NasDem akan selalu mendukung sepenuhnya Budi Gunawan. Gerakan menyasar semua unsur yang berseberangan dengan Budi Gunawan dan Budi Waseso dibungkam - sebagai unjuk kekuatan yang sebenarnya menjadi fenomena pula. Pelaporan terhadap Denny Indrayana menjadi contoh betapa kritikan (fenomena pula) ditanggapi sebagai serangan. Senyatanya, begitu kasus KPK vs Polri mencuat, kini PDIP dan NasDem surut mendukung Budi Gunawan maupun Budi Waseso.