Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

5 Perspektif Presiden Jokowi Tunjuk Budi Gunawan sebagai Kepala BIN

4 September 2016   19:17 Diperbarui: 5 September 2016   08:42 6708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budi Gunawan I Kompas.com

Inilah lima perspekif Presiden Jokowi dalam menunjuk Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Penunjukan Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) menimbulkan reaksi politik publik: pro dan kontra. Padahal dalam sejarah Drs. As’ad yang orang sipil pernah menjadi Waka BIN. Pula Soebandrio sebagai kepala badan intelijen di masa lalu.

Komentar dari komentator politik dan pengamat politik lebih banyak menghiasi analisis dangkal keluar dari adagium politik dan kekuasaan; yakni kepentingan dan kekuasaan politik. Bahwa penunjukan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN adalah keniscayaan dalam politik untuk kepentingan Presiden Jokowi dan Republik Indonesia.

Mari kita telaah lima perspektif Presiden Jokowi dalam menunjuk Budi Gunawan sebagai Kepala BIN untuk menggantikan Sutiyoso dengan hati gembira ria riang senang suka-cita bahagia menari menyanyi koprol salto melenting pesta-pora berdansa selamanya senantiasa.

Pertama, perspektif Presiden Jokowi tentang keseimbangan politik Golkar dan PDIP. Peta politik yang telah berubah dengan posisi para partai merapat ke kekuasan perlu penyeimbangan antara PDIP dan Golkar. Pengaruh Golkar dan PDIP tampak jelas ada di jantung kekuasaan dan lingkaran Presiden Jokowi.

Wapres Jusuf Kalla, Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan, dan lain-lain, yang lebih kecil dalam kementerian, serta lembaga tinggi negara lainnya dikuasai oleh Golkar. Golkar secara strategis menempati pucuk kekuasan ekonomi dan politik yang luar biasa. (Sementara PDIP menguasai Kementerian Dalam Negeri, Sumber Daya Manusia, Hukum dan Politik, serta posisi lainnya yang pantas sebagai partai utama penguasa.)

Presiden Jokowi menyadari bahwa kekuasan Golkar ini jelas mengernyitkan dahi PDIP karena Golkar sebagai partai terbaru pendukung Presiden Jokowi telah mengambil start promosi Golkar dalam Pileg dan Pilpres 2019 awal yang baik yakni membajak Presiden Jokowi sebagai alat merangkul kekuasaan (baik Presiden ke-6 Jokowi maupun masyarakat). Golkar telah merebut Presiden Jokowi dari tangan PDIP dan para partai pendukung.

Presiden Jokowi pun paham bahwa di benak niatan politik Golkar ada dua hal yang menguntungkan. Satu, dengan membajak Presiden Jokowi maka nama Golkar akan terangkat. Namun jika Presiden Jokowi dianggap gagal oleh rakyat, maka Golkar akan dengan enaknya meninggalkan Presiden Jokowi. Kedua, dengan mendukung Presiden Jokowi, Golkar secara telak telah menyeimbangkan posisi ketergantungan politik terhadap PDIP oleh Presiden Jokowi. Presiden Jokowi diamankan dalam penyeimbangan dukungan dari Golkar terhadap Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi pun tahu bahwa Golkar secara cermat menghitung bahwa PDIP yang di Ring 1 diisi oleh para oportunis yang suka gegap gempita karena Presiden ke-5 Megawati memang memberikan maneuver politik kepada mereka, tetapi keputusan tetap di tangan Mega. (Contoh dalam kasus dukungan terhadap Ahok, seliweran berita, omongan dan cerita apa pun adalah hanya wacana omong kosong maneuver politik karena keputusan mendukung Ahok jelas ada di tangan Mega.

Apalagi jika konsideran politik mendukung Ahok termasuk perhitungan politik-hukum dan hukum-politik yang menawarkan political position and political bargaining position Edi Marsudi dan Ahok. Dengan satu pernyataan simpel: dukung Ahok atau Edi Marsudi terus maju ke Podomoro mengikuti jejak sang koruptor nyinyir M. Sanusi. Selesai.)

Maka melihat pola komunikasi politik yang tidak matang, Golkar memanfaatkan keadaan dengan seolah merebut posisi PDIP. (Sejak awal Presiden Jokowi melihat perlu keseimbangan dalam pemerintahan yakni (1) menempatkan pesaing PDIP di jantung kekuasan agar PDIP tidak semena-mena terhadap Presiden Jokowi seperti kasus pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri; yang Presiden Jokowi hanya ditolong oleh Prabowo dan Netizens serta the Operators.

Lalu, (2) dengan cermat Presiden Jokowi menugaskan Jenderal Luhut dan Wapres JK untuk menempatkan Setya Novanto sebagai Ketua Golkar yang dipegang kedua kakinya oleh Presiden Jokowi, dengan mengusir dan menetralisir mafia migas Muhammad Riza Chalid. Riza Chalid menjadi pesakitan dan pada masa jabatan kedua M. Riza Chalid akan menjadi target perburuan internasional setelah M. Riza Chalid kehilangan banyak aset akibat program Tax Amnesty.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun