[caption caption="Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]Ada fenomena yang sangat menarik. Presiden Jokowi memang berani memegang kodok; sebagian orang geli memegang kodok. Presiden Jokowi juga berani memegang burung dan melepasliarkan; sebagian orang takut dipatuk burung. Presiden Jokowi pun berani memberi makan ikan dengan bersarung; sebagian orang takut dianggap kampungan memakai sarung murahan. Namun, ada satu hal yang membuat ragu dan bisa jadi ketakutan Presiden Jokowi dalam bersikap: Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid. Mari kita telaah lima faktor penyebab keraguan Presiden Jokowi dan bahkan bisa wujud ketakutannya kepada Setya Novanto dan Riza Chalid dengan hati gembira ria riang girang senang bahagia suka-cita sentosa pesta-pora menari menyanyi selamanya senantiasa.
Berita belakangan tenang, setenang air di kolam buatan Taman Kebun Raya Bogor tempat Istana Bogor berdiri megah. Di situlah Presiden Jokowi tetirah merenungi diri di tengah kesibukan – dan kegalauan karena jepitan politik. Presiden Jokowi pun melepaskan burung – sebelumnya memegang burung-burung juga berani.
Selain ratusan burung, kodok-kodok dan ikan pun dilepaskan di kolam Taman Kebun Raya Bogor. Yang belum dilepaskan di sana sebagai upaya keseimbangan adalah ular sawah. Untuk keseimbangan alam alias ekosistem – ular sawah harus dilepaskan untuk mengontrol populasi kodok dan ikan yang berbiak di kolam-kolam Kebun Raya.
Di balik beraninya Presiden Jokowi memegang kodok, ternyata Presiden Jokowi ragu-ragu dan bahkan terkesan lambat yang menjurus pada rasa ketakutan – yang ditangkap oleh pendukung Presiden Jokowi – ketika harus berhadapan dengan kasus Papa Minta Saham. Kenapa ragu dan menjurus ketakutan? Karena dalam kasus Papa Minta Saham, yang terlibat di dalamnya adalah orang terkuat di Indonesia: Setya Novanto. Selain Setya Novanto, di situ ada orang terkaya di Indonesia bernama Muhammad Riza Chalid alias mafia Petral dan migas. Lalu apakah penyebab ketakutan Presiden Jokowi?
Pertama, Presiden Jokowi meragukan PDIP sebagai pendukung dan lebih memercayai orang kuat dan rayuan Setya Novanto, dan Golkar. Betapa tidak? PDIP sebagai pendukung utama Presiden Jokowi justru di lingkaran 1 selalu membuat gaduh. Pencalonan Budi Gunawan menimbulkan luka dalam bagi Presiden Jokowi. Hanya karena dukungan Prabowo dan rakyat maka saat itu Presiden Jokowi berani menolak Budi Gunawan: Presiden Jokowi sendirian saat itu. Terpojok.
Pandangan dua orang Golkar di jantung kekuasaan Presiden Jokowi, Luhut Pandjaitan dan Jusuf Kalla, yang menyarankan kompromi politik untuk kasus Papa Minta Saham, seharusnya gampang dipatahkan. Bahwa dalam politik Golkar ada faksi-faksi. Presiden Jokowi bisa bersikap dan menyampaikan kepada para petinggi Golkar – bisa lewat the Opartors, dan sudah dilakukan namun butuh lebih endorsement Presiden Jokowi – untuk membantu memenangkan faksi selain Setya Novanto. Tidak salah menyampaikan kepada petinggi Golkar meskipun tidak langsung, melalui tindakan yakni menyelesaikan kasus Papa Minta Saham.
Kedua, Presiden Jokowi menjadi ragu-ragu menjurus ketakutan terhadap kegaduhan politik kalau menyelesaikan kasus Papa Minta Saham. Presiden Jokowi tidak menghendaki kegaduhan politik. Padahal sesungguhnya, kegaduhan politik akan tetap ada meskipun kasus Papa Minta Saham tidak diselesaikan. Bentuk baru penggalangan kekuatan akan semakin masif karena balas dendam politik akan dilancarkan oleh Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid. Gerakan mereka akan sangat liar dan strategis karena pengalaman akan kekuatan yang sudah dibangun oleh Setya Novanto dan Riza Chalid selama lebih dari 30 tahun.
Ketiga, Presiden Jokowi cenderung ragu menuju rasa takut kepada Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid, hanya demi mendapatkan rayuan untuk dukungan Golkar yang disampaikan oleh Jusuf Kalla dan tentunya dukungan kuat Jenderal Luhut Pandjaitan. Sesungguhnya, Presiden Jokowi tidak perlu merangkul Ical dan Setya Novanto dan hanya membutuhkan faksi Luhut Pandjaitan dan Jusuf Kalla yang selama ini telah berhasil mengobok-obok Golkar dengan bantuan Yasonna Laoly dan PDIP.
Faktor uang besar Setya Novanto dan juga mafia migas Muhammad Riza Chalid dapat disampingkan dan disingikirkan. Dengan demikian yang terjadi adalah Presiden Jokowi menguatkan faksi Jusuf Kalla dan Luhut Pandjaitan di dalam Golkar; dan itu menguntungkan baik bagi Jusuf Kalla dan Jenderal Luhut serta Presiden Jokowi sendiri.
Keempat, langkah zig-zag the Operators untuk menyingkirkan Setya Novanto-Ical-Nurdin seharusnya menjadi potret bagi Presiden Jokowi untuk tetap berani menyelesaikan kasus Papa Minta Saham. Saat ini tengah terjadi persaingan sengit bahkan juga ada yang lucu-lucu wagu ketika Idrus Marham ingin memimpin Golkar namun takut maju sebagai capres 2019. Penyingkiran trio politik itu sangat penting demi melahirkan Golkar yang juga dikehendaki oleh Presiden Jokowi.
Dengan penyingkiran itu sesungguhnya adalah memberikan warna baru Golkar dan memotong pengaruh kekuatan di lembaga dan BUMN yang 80%-nya dikendalikan oleh Golkar sebagai sisa masa rezim SBY. Keuntungannya adalah memotong dual-loyalitas kepada SBY dan Presiden Jokowi menjadi loyal kepada Presiden Jokowi.