[caption id="attachment_63331" align="alignright" width="298" caption="Para pengunjuk rasa di depan pintu gerbang utama Gedung MPR/DPR, Kamis (28/1)/Admin (R.A. Khairun Nisa)"][/caption] Siang ini, Rabu (28/1) dari Bentara Budaya Jakarta (BBJ) - sayup-sayup terdengar suara musik. Sebagian dari Kelompok Orkes Gesek Sa'Unine (Sebunyinya) yang akan tampil malam nanti. Iya, pergelaran musik seperti menyiratkan adanya "good time" - zaman yang tenteram. Kalau itu faktanya, pastilah mendengar rangkaian lagu-lagu Tanah Air, seperti "Cublak-cublak Suweng", "Paris Barantai", dan "Kambanglah Bungo", atau "Di Bawah Sinar Bulan Purnama", menjadi saat yang penuh damai, nglaras, penuh klangenan... Namun, seiring dengan musik yang sedang digladi-resik itu, semua stasiun tv lokal sedang menayangkan Demo Gerakan 28 Januari, yang bertepatan dengan peringatan 100 Hari Pemerintahan SBY Jilid II. Setiap kali reporter TV menyebut adanya "kericuhan"...antara pendemo dan petugas (ada 10.000 polisi yang diturunkan) yang diturunkan untuk memantau demo. O ya, selain di Jakarta, demo dengan tema dan semangat sama, juga berlangsung di berbagai kota di Indonesia... Kalau kita amati, tema tuntutan demo amat beragam. Yang generik : Hapuskan kemiskinan. Yg aktual: Tuntaskan Skandal Bank Century. Yang spesifik: Hapuskan tenaga kerja kontrak. Dan yang substansial: Turunkan SBY-Boediono, yang dianggap telah gagal memimpin pemerintahan. Itu jelas bukan "DI Bawah Sinar Bulan Purnama" (Ini salah satu lagu karya mendiang Maladi - yang juga mencipta lagu kesayangan saya "Rangkaian Melati"). "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" adalah lagu simbolik. Di dalamnya ada kiasan yang melukiskan betapa rakyat - yang waktu itu di bawah penjajahan - bersiap menyongsong era baru. Era Kemerdekaan. Sebaliknya, yang ada sekarang ini yang ada adalah zaman yang sulit, panas, dan bergelora, sekaligus berantakan. Ini juga mungkin tak pas dengan musim. Meski sudah mulai menghangat, Januari sering disebut sebagai "puncak musim dingin". Berada di Eropa di bulan Januari sama seperti berada di "Jantung Musim DIngin", atau - dalam bahasa Perancis - "Au coeur de L'hiver". Kalau saya menambahkan "Une rose" di depan "au coeur de l'hiver", itu semata karena saya penggemar penyanyi Perancis Mireille Mathieu yang menyanyikan lagu tentang mawar di jantung musim dingin ini. Kini, di negeri ini, lupakan musim dingin. Musim penghujan di Indonesia pun tahun ini tampaknya sudah terganggu dengan El Nino, sehingga curah hujan tak setinggi seperti biasanya, hingga Jakarta bisa dikatakan terberkati tanpa hujan yang parah (sampai pekan ketiga Januari.) Alam, sebagaimana politik, tampaknya memang memanas tahun ini. Jadi yang ada di jantung musim dingin bukan lah sekuntum mawar yang menyejukkan, mendamaikan, tapi demo-demo yang panas. Kembali, bangsa Indonesia dihadapkan pada pertanyaan sulit, terus dengan hiruk-pikuk sekarang ini, atau menoleh ke peluang baru? Malheureusement mes amis, nous 'n'avons pas "Une rose au coeur de l'hiver" maintenant.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H