[caption caption="Peringatan Hari Nasional. Sumber: economic.bg"][/caption]Setiap 21 April, sekolah, instansi Pemerintah dan swasta, disibukkan dengan kegiatan memperingati Hari Kartini. Sejak subuh kaum wanita berbondong-bondong ke salon untuk sanggulan dan berdandan. Kaum pria juga tak mau kalah, Â ikut sibuk berpakaian adat sesuai daerahnya masing-masing. Kesibukan ala "Kartini-an" seperti ini sudah berlangsung sejak tahun 1964, saat Presiden RI ke-2 Soeharto menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan sekaligus menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Artinya selama 52 tahun setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini.
Pada peringatan yang ke-52 kalinya ini, saya ingin mengajak pembaca untuk berpikir kritis terhadap makna kata "Hari Kartini". Mengapa harus "Hari Kartini"? Mengapa bukan hari "Emansipasi Wanita"? Dan tentu saja sederet pertanyaan kritis lain perlu kita lontarkan. Saya tidak ingin berpanjang lebar menguak sejarah R.A. Kartini, karena pembaca tentu sudah paham dan cukup kenyang dengan pelajaran sejarah yang diperoleh sejak di bangku Sekolah Dasar. Saya hanya akan mengulas nama peringatan "Hari Kartini" dengan menggunakan nama tokoh.
Menengok ke belakang di masa pra-Kemerdekaan atau semasa Kartini hidup  atau di masa sebelum Kartini lahir. Apakah di masa-masa itu tidak ada wanita-wanita lain yang juga berjasa terhadap bangsa Indonesia? Tentu saja ada. Sebut saja Dewi Sartika (1884-1947) mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910), di kota Bandung dan luar Bandung. Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ada pejuang wanita Rohana Kudus (1884-1972) yang  mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916). Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak Koto Gadang sampai ia mengungsi ke Medan dan ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di tanah air. Artinya, tidak hanya R.A. Kartini yang berjuang di bidang pendidikan atau jika dibalik, kaum wanita yang berpartisipasi dalam perjuangan di segala bidang, tidak hanya R.A. Kartini namun ada sejumlah tokoh wanita lain.
Saya tentu tidak akan membanding-bandingkan besar kecilnya perjuangan para Pahlawan, karena tidak elok. Namun yang perlu kita kritisi adalah sikap Pemerintah saat itu yang menetapkan tanggal 21 sebagai "Hari Kartini". Mengapa pejuang-pejuang wanita yang lain tidak mendapat ‘tempat’ yang sama dengan Kartini? Mengapa tidak ada ‘Hari Dewi Sartika’, 'Hari Rohana Kudus', 'Hari Cut Meuthia' misal dan sebagainya? Atau jika kita melihat perjuangan pahlawan yang lain, sebut saja Soekarno-Hatta yang memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, mengapa di hari itu tidak ditetapkan sebagai ‘Hari Soekarno-Hatta’ sekaligus ‘Hari Kemerdekaan’? Apakah nilai perjuangan, keteladan dan ketokohan R.A. Kartini sedemikian besar dan hebat melebihi perjuangan para pahlawan Kemerdekaan, hingga Pemerintah saat itu perlu menetapkan hari peringatan tersendiri dengan menggunakan nama sang tokoh? Sepanjang tahun pada kalendar hari-hari peringatan, yang menggunakan nama tokoh satu-satunya, hanyalah ‘Hari Kartini’. Tokoh Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional pun, tidak mendapat tempat seperti Kartini. Tidak ada peringatan ‘Hari Ki Hadjar Dewantara’, tetapi peringatan Hari Pendidikan Nasional. Mengapa perjuangan Ki Hadjar Dewantara tidak diperlakukan sama dengan Kartini?
Bukankah dengan menyebutkan nama atau memperingati nama seseorang sama dengan tindakan pengkultusan sosok R.A Kartini? Sebagaimana kita tahu mayoritas bangsa Indonesia pemeluk Islam yang melarang tindakan mengkultuskan seseorang? Dengan memperingati ‘Hari Kartini’ apakah tidak sama artinya dengan mengkultuskan sosok Kartini?
Maka dengan ini saya menggugat untuk mengganti "Hari Kartini" dengan "Hari Emansipasi Wanita" agar lebih bisa diterima akal sehat dan hati nurani. Â Dan dengan menetapkap Dewi Sartika, Rohana Kudus, R.A. Kartini dan tokoh pejuang wanita di bidang pendidikan lainnya, sebagai tokoh pejuang wanita di bidang emansipasi pendidikan kaum wanita. Mengenai tanggal peringatan, kemudian ditentukan dengan menggunakan hari kelahiran sang tokoh, misalnya hari kelahiran R.A. Kartini, tentu hal ini masih bisa diterima. Anggap saja, menggunakan tanggal lahir R.A Kartini 21 April menjadi penanda atau sebagai titik tolak adanya emansipasi wanita karena gaungnya saat itu terdengar se-Nusantara. Namun perlu digaris bawahi bahwa tokoh emansipasi wanita di bidang pendidikan tidak hanya Kartini saja. Sebelumnya ada Dewi Sartika dan Rohana Kudus dan tokoh wanita lainnya yang perlu kita telusuri lagi dalam sejarah Indonesia. Peringatan Hari Emansipasi Wanita ini sejajar dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional dengan tokohnya Ki Hadjar Dewantara.
Dan selanjutnya setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Emansipasi Wanita dengan berbagai bentuk perayaan, maka itu sah-sah saja.  Misal,  kaum wanita di hari peringatan Emansipasi Wanita merayakannya dengan berpakaian adat masing-masing sebagai perwujudan rasa suka cita. Atau memperingatinya dengan lomba memasak, lomba merajut, dan lomba-lomba lain yang terkait dengan keterampilan kaum wanita, tentu saja boleh. Dan yang paling penting, ada upaya meluruskan sejarah, bahwa perjuangan wanita di bidang pendidikan yang membukakan jalan kaum wanita untuk mencicipi bangku sekolah, tidak hanya dilakukan oleh R.A. Kartini, namun ada Dewi Sartika, Rohana Kudus dan sebagainya. Sehingga generasi mendatang lebih terbuka dan lebih luas pengetahuan sejarahnya, tidak terpaku pada satu tokoh saja. Tahun depan, kalendar Hari-hari peringatan di Indonesia, tidak ada lagi yang mencantumkan tanggal 21 April sebagai ‘Hari Kartini’, namun berganti menjadi ‘Hari Emansipasi Wanita’. Selamat Hari Emansipasi Wanita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H