Teman saya, Mas Sapto Nugroho sebenarnya sudah pernah mengundang saya untuk terlibat sebagai peserta sekolah Ideologi Kenormalan. Lha koq ndilalah ayahanda menyuruh saya pulang, tentu tak bisa saya bantah. Undangan sekolah yang kedua pun dating dan saya menyanggupinya.
Ya memang namanya Sekolah Ideologi Kenormalan, semacam mendekonstruksi pemikiran kita atas makna normal. Sebab di negara ini kata-kata normal hanya ditujukan pada kita yang lengkap fisik tubuh serta fungsinya. Padahal dalam perspektif dan pendalaman teman saya itu, logika yang salah. Makanya istilah orang cacat jamak digunakan dinegara ini. Meski 5 tahun belakangan, ada kata difabel yang kadang turut digunakan.
[caption id="attachment_362083" align="alignnone" width="538" caption="Mas Sapto dibelakang istrinya (baju kerudung merah) bersama dampingannya"][/caption]
Sekolah itu gratis, tidak bayar dan bukan sekolah formal. Lha wong diselenggarakan cuma 2 hari dengan materi yang membuka perspektif kita. Orang-orang yang anggota tubuhnya kurang lengkap atau fungsinya dibilang cacat. Agak ringan kata penggantinya daksa. Tapi sebetulnya frasa itu sungguh tidak tepat. Apalagi kalo ada yang menyebut cacat, miris rasanya hati ini. Mereka itu sama saja seperti kita, cuma memang kemampuannya berbeda/difabel (different ability). Jadi bukan pula disable alias tidak berfungsi.
Nah sekolah itu diikuti oleh orang-orang yang mendaftar di facebook mas Sapto. Yang jelas kini sudah angkatan ke V. Yang ikut dari berbagai kota tidak hanya Solo. Bahkan PMI Pusat mengirimkan 2 orang untuk ikut sekolah ini. Menurut mas Leo dan mbak Rofi dari PMI pusat mereka itu hadir karena akan memainstremingkan tentang ideologi kenormalan di PMI. Khususnya bagi penanganan bencana. Karena menurut mereka, perlakuan penanganan korban bencana orang biasa dengan difabel sama padahal seharusnya berbeda.
Selama ini, komunitas difabel kurang mendapat apresiasi pemerintah. Mereka terdiskriminasi diberbagai sector maupun kehidupan. Meski sudah ada dinas sosial atau pemberdayaan masyarakat, selalu yang diturunkan programnya ya pelatihan menyulam, menjahit, salon dan pijet. Bahkan untuk bersekolahpun, mereka kebanyakan ditolak sekolah umum. Akibatnya mereka bersekolah di SLB yang peserta didiknya mengalami beragam difabilitas. Kalau toh pun bisa masuk, harus di sekolah inklusi dengan biaya tambahan untuk menghadirkan pendaping.
Dibidang ketenagakerjaan walaupun ada aturan tentang kuota 1 persen tenaga kerja difabel faktanya sulit sekali mereka mendapat pekerjaan apalagi di sector formal. Akibatnya mereka bekerja secara mandiri. Bisa dibayangkan orang dengan paraplegia (orang dengan kursi roda) harus berjualan telur keliling, jadi tukang cukur, tukang pijat dan lain sebagainya? Artinya pemerintah melalui kementrian atau pemerintah daerah harus membuat assessment (penggalian kebutuhan), program apa saja yang tepat untuk dilatihkan ke mereka serta sekalian diberi modal usaha. Dibidang pendidikan, yang sudah menjadi tugas pokok pemerintah harusnya menyediakan guru pendamping. Tunjuk saja beberapa sekolah inklusi agar siswa difabel bisa bersekolah disana.
[caption id="attachment_362085" align="alignnone" width="420" caption="Saat memberi materi"]
Menurut mas Sapto yang kenyang pengalaman diremehkan, sebetulnya tidak ada yang namanya cacat atau tidak normal. Setiap kita harus mampu menghargai sesama. Kendala terbesar dan utama justru muncul dari penolakan orang tua bila memiliki anak difabel dan selanjutnya lingkungan. Makanya banyak bayi yang difabel dibuang, dititipkan, ditaruh dipanti hingga dipasung. Itu akibat pola pikir orang tua yang tidak faham bagaimana mendidik anak difabel. Padahal mereka selalu dikaruniai kelebihan yang luar biasa. Tahu Einstein, Stephen Hawking, Braille, Stevie Wonder mereka adalah orang dengan difabel namun prestasinya mendunia.
Yang jelas, ini belum angkatan terakhir Sekolah Ideologi Kenormalan. Berjuang menyadarkan dan mensejajarkan difabel untuk mendapat perlakuan setara sudah menjadi nafas hidup mas Sapto. Istrinya mbak Pamikatsih alias mbak Pikat juga aktivis dengan kursi roda, semangatnya sama. Sekolah ini gratis karena banyak yang bersepakat dengan mereka bahwa perjuangan komunitas difabel harus terus menjadi isu penting, setara dengan isu HAM, kesetaraan jender, Lingkungan, Global Warming, Perjuangan hak buruh maupun pemenuhan Hak anak.
Itulah isu-isu yang seharusnya menjadi mainstreaming berbagai kebijakan nasional. Agar tak ada lagi “letidaknormalan” kebijakan yang makin merugikan mereka. Sekolah angkatan ke V kemarin diadakan tanggal 4-5 April diikuti 8 orang karena 2 orang tiba-tiba ada acara mendadak. Sungguh saya sangat beruntung turut bersekolah disana. Mantap mas dan tetap semangat berjuang!