Pengurangan subsidi BBM yang dialihkan ke berbagai sektor harapannya mampu meningkatkan produktifitas masyarakat. Pemerintah menengarai bahwa subsidi BBM lebih banyak digunakan untuk hal-hal konsumtif dibandingkan dengan hal produktif. Sejak 18 November, subsidi BBM dikurangi dan dialokasikan untuk infrastruktur, pertanian, nelayan maupun program peningkatan daya beli masyarakat.
Tahun 2014 subsidi BBM dihitung Rp 246,5 T dan listrik Rp 103,8 T. Salah satu program pemerintah dalam pengalihan subsidi ini yakni PSKS (Program Simpanan Keluarga Sejahtera). Meski pada awal Desember program ini diluncurkan banyak polemik (terkait sumber dana cetak kartu) namun pemerintah tetap jalan.
Wajar saja sebab BBM sendiri telah dinaikkan untuk premium bertambah Rp 2.000. Dilapangan, masyarakat miskin mendapatkan PSKS senilai Rp 400.000/2 bulan. Ternyata dilapangan banyak masalah. Berdasar pantauan saya dimedia lokal, rata-rata disemua kecamatan yang ada di eks Karesidenan Surakarta terjadi sengkarut.
Mulai dari nama yang tidak ditemukan, warga sudah meninggal, sudah pindah, sudah mampu, tidak mendapat meski sangat miskin dan lain sebagainya. Bahkan ada yang masyarakat setempat bersepakat penerima PSKS menyisihkan sebagian dana yang diterima untuk dibagikan warga miskin lain yang tidak mendapat PSKS.
Sumber Data
Problem pertama timbul dari data PSKS yang ternyata tidak update. Saya menduga data yang dijadikan rujukan oleh pemerintah berdasarkan PPLS 2011 yang dilakukan BPS tahun 2010. Bila sekarang tahun 2014 akhir, bisa dibayangkan fakta dilapangan seperti apa. Untuk memudahkan menjabarkan, saya mencoba dalam gambar dibawah ini :
[caption id="attachment_340699" align="aligncenter" width="461" caption="Alur Pendataan Warga Miskin (dari berbagai sumber/diolah)"][/caption]
Kegiatan PPLS 2011 dikoordinasikan oleh Badan Pusat Statistik tiap Kabupaten/kota. Mereka merekrut masyarakat untuk dilatih melakukan sensus, tentu dengan persyaratan cukup ketat. Setelah lolos mereka ikut pelatihan 3-4 hari disertai praktek. Sensus 2010 itu menggunakan 14 indikator secara nasional, artinya dari Sabang sampai Merauke alat ukurnya sama.
Kesamaan indikator inilah yang menjadi problem PSKS yang kedua. Sebut saja soal luasan lahan, dinding harus tembok, lantai plester tanah dan masih banyak yang lain. Banyak ditemukan juga pendataan yang tidak valid. Hal ini disebabkan pendata bukan orang setempat, data sementara tidak disahkan/disetujui Rt, data mengarang, informasi bohong dan lainnya.
Nah pasca terkumpul ditingkat entah kecamatan atau kab/kota, tidak diverifikasi atau paling tidak dilakukan spot cek untuk uji validitas data. Uji ini penting sebagai penilaian kerja pendata. Apabila ditemukan 1 saja data tidak valid, harus dilakukan pendataan ulang.
Data ini kemudian diolah ditingkat nasional dan dipilah menjadi 4 level/kategori yaitu sangat miskin, miskin, hampir miskin serta rentan miskin. Keluarlah jumlah tiap level tersebut untuk kabupaten/kota. Data ini kemudian dikirimkan ke Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang bekerja dibawah koordinasi Kemenko Kesra.