Pengumuman kelulusan hasil UN SMP sudah dilakukan sabtu kemarin. Namun tidak semua orang bisa tenang dan mudah memutuskan melanjutkan kemana. Bagi orang-orang berduit, tidak pusing mikir melanjutkan kemana. Tapi bagi yang duitnya pas-pasan, ya terancam melanjutkan ke sekolah yang biasa-biasa saja.
Beberapa kabupaten/kota menetapkan sekolah-sekolah di wilayahnya menerima siswa dari jenjang dibawahnya melalui kuota (ada yang berdasar asal sekolah dan alamat tempat tinggal). Kota Surakarta, salah satu diantara daerah yang menetapkan kuota. Namun ada perubahan mencolok untuk penerimaan jenjang SMA ditahun ini. Dan itu makin mempersempit peluang anak-anak dengan prestasi lumayan yang ingin bersekolah di Surakarta.
Tahun sebelumnya, sekolah negeri di Solo membuka peluang 20% anak-anak dari luar Solo untuk mendaftar. Namun tahun ini peluang itu dipersempit menjadi hanya 10 persen dan 5 persen saja. Dari 8 SMA Negeri, 3 SMA (SMAN 1, 3, 4 dan 7) membuka peluang anak luar kota 5 % sedang SMAN 2, 5 dan 6 disediakan 10 persen.
Menurut penjelasan Sekretaris Dikpora Solo, Aryo Widyandaka dalam laman ppdbsolo.net beralasan tingginya minat pendaftar asal Kota Solo yang menyebabkan kuota luar kota dikurangi.
“Tahun lalu, kuota siswa luar Kota Solo di sekolah-sekolah negeri ditetapkan sama, yakni maksimal 20 persen. Namun kali ini ada kebijakan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo untuk membatasi penerimaan siswa luar kota tersebut dengan persentase yang berbeda di sejumlah sekolah. Adanya kebijakan tersebut dengan berbagai pertimbangan, terutama melihat tingginya minat pendaftar asal Kota Solo sendiri. Dia menyebutkan untuk SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, dan SMAN 7, kuota penerimaan siswa asal luar kota ditetapkan maksimal 5 persen dari daya tampung sekolah setelah dikurangi kuota siswa dari keluarga miskin (gakin) dan kuota siswa berprestasi di bidang olah raga” tulis Aryo.
Dari banyak lulusan SMP, ada salah satu siswa yang sangat berharap untuk dapat bersekolah di Solo. Dia merupakan penulis cilik yang lumayan produktif (5 novel dan 5 kumcernya sudah diterbitkan penerbit mayor). Anak ini sangat berminat masuk di sekolah yang peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi cukup terbuka lebar. Maka selama proses menjelang UN, dia belajar dengan sangat serius.
Hasilnya, nilai UN mencapai 37,70 alias menempati posisi pertama di MTsN 1 Surakarta untuk kelas regular. Sementara bila digabung dengan kelas Program Khusus, posisinya ada di nomor 7. Perlu diketahui, kelas Program Khusus adalah kelas dengan ruang AC dan membayar SPP tiap bulan sekitar Rp 300.000. Untuk kelulusan tahun ini, siswa PK berjumlah 94 anak. Sedangkan kelas regular bebas biaya dan hanya mengandalkan BOS saja. Siswa regular sendiri jumlahnya mencapai 218 orang.
Alamat rumahnya berada di Sukoharjo dan memang bersekolah di MTsN 1 Surakarta yang jaraknya lebih dekat. Rumahnya terletak di perbatasan Surakarta dan Sukoharjo. Selama 3 tahun, dia banyak bersekolah dengan sepeda kayuh yang jaraknya kurang lebih 6 km sekali jalan. Tapi itu tak mengurangi seriusnya belajar.
Pilihan sekolah di Surakarta dikarenakan lebih kompetitif juga. Harapannya melanjutkan ke SMA juga di Surakarta agar lebih optimal potensi yang dimiliki. Bila harus sekolah di Sukoharjo, sekolah dengan sistem pembelajaran baik ada di pusat kota Sukoharjo dan itu harus ditempuh sekitar 20 km sekali jalan. Bila pilihan dijatuhkan yang dekat dari rumahnya, sistem pembelajarannya kurang kompetitif. Selain itu peluang menembus perguruan tinggi bonafide melalui jalur undangan relatif kecil. Hal ini juga sesuai pertimbangan orang tua yang berpikir agar anaknya bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan peluang besar.
Inilah yang membedakan pilihan sekolah saat SMP dengan SMA. Bila SMP, ortu pertimbangan hanya sistem pembelajarannya saja. Namun ketika masuk SMA, jalur undangan dari universitas menjadi salah satu faktor yang penting untuk dipertimbangkan. Nah peluang-peluang itu banyak tersedia di SMA yang ada di Solo. Untuk 4 SMA tahun ini ada 120an/sekolah lebih lulusannya yang mendapat jalur undangan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri. Sementara yang lainnya kurang dari 100 anak.
Keempat SMA itu menyediakan kuota hanya 5 persen dari daya tampung setelah dikurangi Gakin, Siswa Berprestasi dan Anak Guru. Yang miris ya soal 5 persen dari sekitar 300 – 350 an siswa. Artinya hanya tersedia 15 kursi untuk anak luar kota. Apa argumentasi yang menjadikan Dikpora Solo seenaknya menetapkan kuota? Kemendikbud harus mengatur tentang hal ini karena ada banyak penduduk yang tinggal berbatasan dengan wilayah yang lain.