Tahun ini merupakan tahun ketiga sejak program KTP Elektronik (e-KTP) diberlakukan di Indonesia. Sayangnya, meskipun dilabeli gratis (dana APBN) belum semua warga negara menerima KTP. Sebenarnya program ini penting sebab merupakan pendataan warga secara valid. Sulit kiranya 1 orang memiliki KTP lebih dari satu seperti saat manual dulu.
Proyek e-KTP dimulai sekitar Tahun 2011 dengan anggaran Rp 6 T (2011 Rp 2 T lebih dan 2012 Rp 3 T lebih). Meski demikian ditemukan dugaan korupsi yang kini sedang ditangani KPK, sudah menetapkan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Penduk Capil Kemdagri dengan dugaan dana yang dikorup mencapai Rp 1,1 T.
Perlakuan e-KTP sendiri hingga sekarang yang kita alami ya baru sebatas nama. Kemana-mana kita gunakan tetap saja masih fotokopi. Mau buka rekening, transaksi bank, urus SIM, buat BPKB dan beragam kegiatan lainnya. Artinya makna "elektronik" belum secara terminologi baru sebatas kata.
Disisi lain, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) sedang getol mengupayakan efisiensi di birokrasi. Tentu gerbong menteri Kabinet Kerja ini sepakat bahwa korupsi merupakan salah satu musuh utama sehingga semua nama kandidat menteri harus masuk di PPATK dan KPK agar "clear" tidak memiliki kasus korupsi.
Segeralah tata birokrasi dengan memanfaatkan chip di e-KTP ini. Saya dengar dari tetangga saya yang kebetulan guru PNS, mereka sudah 2 tahun belakangan diminta melaporkan harta kekayaan secara rutin. Baik harta bergerak, tidak bergerak maupun surat berharga termasuk yang dimiliki anaknya.
Cuma saat saya tanya, apakah data mereka (PNS) sudah terintegrasi dengan data lain? dia menjawab tidak tahu. Saran saya, segeralah integrasikan data PNS di BKN (Badan Kepegawaian Nasional) dengan institusi lain. Baik antar instansi pemerintah seperti BPN (Badan Pertanahan Nasional), Samsat (BNKB, STNK) maupun pihak lain (seperti Perbankan baik rekening maupun giru dan lainnya, PLN, Telkom, pegadaian).
Yang harus diintegrasikan setidaknya PNS berkaitan, istri (baik PNS maupun swasta) serta anak-anaknya. Hal ini bisa digunakan untuk memantau harta kekayaan yang dimiliki. Salah satu terobosan penting yang bisa dicontoh apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI, Ahok. Dia melaran PNS mengambil tunai diatas Rp 25 juta.
Ahok faham bila dibatasi demikian, PNS akan kesulitan main suap dengan cara transfer sebab pasti akan ketahuan atau setidaknya mulai dilacak. Menteri Yuddy Chrisnandi perlu segera merumuskan kebijakan yang tepat termasuk bagi TNI maupun Polri. Sebab banyak ditemukan di lapangan PNS termasuk TNI dan Polri memiliki kekayaan tidak wajar.
Harusnya data di BPN, Samsat, Pegadaian maupun Perbankan bisa dikoordinasikan. Karena mereka bukan lembaga baru berdiri serta perekaman data sudah lama. Artinya bila ditemukan setelah kebijakan integrasi data dilakukan ada pergerakan kekayaan beralih dari nama PNS, layak ditelusuri.
Saat ini teknologi sudah canggih dan saya kira tinggal merumuskan regulasi serta MoU antar instansi. Bekerja samalah dengan PPATK maupun KPK yang tentu sangat terbuka untuk hal ini. Memang kalau niatannya buruk sih bisa disiasati dengan mengganti kepemilikan pada tetangga, pembantu maupun sopir mereka.
Tetapi setidaknya ada upaya konkrit sembari menata atau menyiapkan integrasi data bagi penduduk Indonesia yang lain. Sudah lama para birokrasi selalu menikmati kenaikan gaji yang rutin tiap tahun sementara tolok ukur kinerja hingga kini masih multi tafsir dan menghadapi kendala untuk diterapkan. So, integrasikan dulu saja data kekayaan mereka.